Oleh Desy Saputra Jakarta (ANTARA News) - Selama dua jam penuh Kua Etnika, Djaduk Ferianto dan Tri Utami membawakan 10 reportoar. Konser bertajuk "Raised From The Roots Breakthrough The Borders" itu, tergolong sukses membawa penonton melintas perjalanan menembus batas musik tradisi dan modern. Reportoar yang dibawakan kali ini sangat berbeda dibandingkan penampilan Kua Etnika sebelumnya. Dominasi alat musik tradisi sangat kental berpadu harmonis dengan bunyi elektrik, synthesizer, dan drum. Sementara itu, mainan anak-anak dan benda-benda peralatan dapur yang turut menyeruak ditengah riuhnya bunyi alat musik menjadikan sajian musik Kua Etnika menjadi semakin kaya warna dan mempesona penonton Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki Jakarta, Kamis (12/7) malam itu. Komposisi "Donau" mengawali konser malam itu. Musiknya menghentak dan bertempo cepat didominasi tabuhan kendang dan drum yang secara reflek membuat penonton menikmati nada-nada itu sambil mengetuk-ketukkan kaki di lantai atau menggoyangkan kepala menikmati alunan musik. Karya cipta tersebut diciptakan anggota Kua Etnika, Indra Gunawan (keyboard dan synthesizer) terinspirasi indahnya pemandangan kawasan Donau di Kota Wina, Austria ketika kelompok yang berdiri pada 1995 ini menggelar sebuah konser di kota itu. Suasana riuh rendah lantas berubah hening, tenang, memilukan, sekaligus memberi kekuatan magis saat reportoar "Samukawise" mengalun perlahan. Repotoar tersebut serupa doa yang dipanjatkan anak negeri atas kegelisahan menyaksikan Indonesia yang dirundung berbagai persoalan. Bencana lumpur Sidoarjo, kasus bentrokan aparat dengan warga Alas Tlogo Pasuruan, dan sepak terjang para koruptor yang semakin membuat rakyat gerah adalah sebagian realitas sosial yang mengilhami diciptakannya repotoar ini oleh anggota Kua Etnika Suwarjiya (saron dan pamade). Komposisi itu merangkak perlahan, seumpama manusia yang berjalan tertatih, tenggelam dalam wajah yang menunduk dan dalam pasrah melantunkan doa memohon agar kekuatan Tuhan membantunya. "Duh gusti ingkang welas asih, paduko kulo nyuwun urip kang waras rahayu...," demikian awal doa itu diucapkan oleh semua pemain musik dengan penuh kesungguhan. "Saya ingin mengajak semua yang ada di sini turut mendoakan negeri ini, agar rakyat menjadi sejahtera dan mendapat kekuatan di tengah serentetan bencana dan pemimpin bangsa ini yang masih dilingkupi keraguan dalam mengambil keputusan," kata Djaduk sebelum Kua Etnika membawaan "Samukawise". Penampilan mereka berlanjut dengan sederetan reportoar diantaranya "Gandekan" yang terinspirasi sebuah daerah Pecinan di Yogyakarta yang juga bernama Gandekan, "Missison Imposible" dari sebuah serial televisi dan film layar lebar berjudul sama, dan "Duo" yang dibawakan Djaduk bersama Tri Utami, hanya dengan iringan sebuah benda berbentuk logam pipih bulat. Konser berlanjut dengan reportoar "Minggu Tidak Tenang", "Kupu Tarung" yang khas musik tradisi Banyuwangi (Jawa Timur), "Mademenan", dan "Juzzla Juzzli" di mana Djaduk membawakan jenis tembang jula-juli yang akrab di telinga warga Surabaya. Inovasi dan improvisasi sangat kental mewarnai rangkaian reportoar yang dibawakan kali ini. Misalnya, dalam reportoar "Mission Impossible" yang lantas diterjemahkan menjadi "misi yang tidak mungkin". Djaduk sengaja memainkan pistol-pistolan kayu yang menimbulkan bunyi sangat khas, menjadikan intro lagu tema film yang dibintangi Pierce Brosnan itu. "Mission Impossible" oleh Kua Etnika memang berangkat dari rangkaian nada yang sama dengan lagu tema seperti dalam film, namun kolaborasi gender dan bonang yang "mengambil alih" bunyi bass di awal lagu membuatnya terasa berbeda. Lagu itu diaransemen oleh Djaduk diilhami keprihatinannya terhadap insiden bentrokan warga sipil dengan aparat di Alas Tlogo, Pasuruan, Jawa Timur, beberapa waktu lalu. "Senjata yang dipanggul aparat itu dibeli dengan uang rakyat, masa sih aparat malah menembak rakyat. Itu kan jelas tidak mungkin, sebuah misi yang benar-benar tidak mungkin," ujarnya disambut tawa penonton. Sesuai tema "Raised From The Roots Breakhthrough the Borders", konser ini mencoba bangkit dari akar musik dan kekayaan budaya tradisi di tengah gempuran budaya modern. Perlahan namun pasti, Kua Etnika berupaya menembus sekat-sekat keduanya. Musik tradisi dan modern bisa saling mengisi, saling berbagi dan melahirkan budaya yang santun dan menghargai satu sama lain. Pijakan itulah yang mengilhami Kua Etnika menciptakan simbol dalam bentuk seorang laki-laki dengan kuda lumping, bertelanjang dada, mengenakan celana kain dibalut selembar kain bercorak batik hingga sebatas lutut. Di tangan tangan kanan, pria itu membawa setangkai daun-daunan dengan diacungkan ke atas, tangan kiri memegang kuda lumping yang diapit kedua kaki, sementara kepala manusia itu berbentuk televisi lengkap dengan antena. Melalui tema ini Kua Etnika seolah ingin "menyentil" sebagian orang yang mendewakan budaya luar negeri karena dianggap lebih "keren" dan "up to date" menggantikan musik dan budaya tradisi yang kerap dikatakan kuno. Televisi dalam simbol itu dianggap sebagai perangkat yang mengenalkan budaya modern. Televisi telah menjadi bagian hidup manusia, sanggup menguasai alam pikiran manusia sehingga diumpamakan kepala. Namun, melalui musik Kua Etnika juga ingin menunjukkan pada publik bahwa musik tradisi sebagai akar budaya bangsa ini masih tetap indah untuk dinikmati, dan bahkan semakin kaya warna dengan sentuhan modern. Alunan gamelan Jawa, Sunda, dan Bali yang dibawakan menjadi tidak membosankan dinikmati, membuat orang tetap bertahan di tempat duduk hingga akhir konser dan menepiskan kesan kuno seperti anggapan sebagian orang selama ini. Melalui 10 reportoar itu Kua Etnika, Djaduk, dan Tri Utami juga berkeinginan membagi perjalanan mereka. Perjalanan panjang yang diawali dari keragaman khasanah musik tradisi untuk menemukan daya ungkapnya dalam musikalitas masa kini. Asas lugas, sederhana, serta menghadirkan suasana yang akrab dan hangat tetap menjadi ciri khas konser mereka. Dibumbui "gojekan" atau gurauan disela reportoar, membuat jarak antara penonton dan penampil di atas panggung seolah sirna. Dua elemen ini melebur menjadi kesatuan. Dalam pentas itu, Kua Etnika pimpinan Djaduk Ferianto tampil dalam formasi Purwanto (bonang, reong, pamade), Indra Gunawan (keyboard, synthesizer), I Nyoman Cau Arsana (reong, pamade, saron), Suwarjiya (saron, pamade), Agus Wahyudi (keyboard), Sukoco (kendang, reong), Beny Fuad (drum), Dhanny Eriawan (bass), Arie Senjayanto (gitar) dan penyanyi utama Tri Utami. Konser ini merupakan ajang "pemanasan" sebelum mereka menggelar konser tunggal mereka di Melbourne, Australia dan keikutsertaan mereka dalam Festival Nusantara di Brisbane, Australia pada Agustus mendatang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007