Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah diminta segera mengeluarkan surat resmi yang menetapkan PT Pertamina EP, anak usaha PT Pertamina (Persero), sebagai pengelola Lapangan Unitisasi Sukowati di Bojonegoro, Jawa Timur.

"Aturan unitisasi itu sebenarnya hal sederhana. Karena reservoar lapangan unitisasi itu mayoritas berada di WK-nya Pertamina EP, ya otomatis Pertamina EP yang jadi operator," ujar anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kardaya Warnika pada diskusi "Menimbang Pelibatan Mitra Asing Dalam Mengelola Blok Migas" di Jakarta, Selasa.

Menurut Kardaya Warnika, Indonesia sudah ratusan kali melakukan kegiatan unitisasi, bukan hanya antara wilayah kerja di dalam negeri atau lintas kabupaten dan provinsi. Unitisasi yang pernah dilakukan justru lintas negara, seperti Indonesia dan Vietnam dan juga Indonesia dan Australia.

Berlarutnya penetapan keputusan Pertamina EP sebagai operator Sukowati justru dapat memengaruhi produksi minyak dari lapangan yang berada di Wilayah Kerja Tuban tersebut.

Kardaya mengatakan kegiatan unitisasi harus memberikan keuntungan bagi negara secara maksimal. Namun, untuk memulai kegiatan usaha terhadap wilayah kerja yang habis kontrak, perlu ada surat yang jelas.

Pemerintah sebelumnya menetapkan delapan WK migas diserahkan kepada Pertamina. Dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No 2881/13/DJM.E/2018 tertanggal 15 Maret 2018 yang ditujukan kepada Kepala SKK Migas dan Direktur Utama Pertamina, salah satu yang ditetapkan adalah WK Tuban.

Saat ini produksi minyak dari Sukowati sekitar 6.000 barel per hari dari sebelumnya sekitar 11.000 ribu barel per hari dengan hanya menggunakan satu rig.

Kardaya juga menyoroti mitra Pertamina dalam pengelolaan ladang minyak habis kontrak. Menurut dia, hal itu sejatinya ditetapkan Pertamina, bukan oleh pemerintah. Penentuan calon mitra harus disesuaikan dengan kebutuhan yang diinginkan oleh Pertamina.

Sementara Pri Agung Rakhmanto, Founder ReforMiner Institute, mengatakan posisi Pertamina harus sama dengan kontraktor minyak dan gas bumi lainnya. Tetapi Pertamina harus diberikan hak khusus.

"Aturan tentang status Pertamina dan juga hak khusus yang harus diberikan sudah jelas aturannya. Ketika sebuah kontrak berakhir, secara aturan, Pertamina mengajukan permohonan kemudian dikaji dan disetujui atau tidak oleh pemerintah," katanya.

Kekisruhan dalam blok terminasi, lanjut Pri, karena ada aturan yang dicampuradukkan. Ini diawali dengan penugasan kepada Pertamina. Padahal, tidak ada ketentuan penugasan.

"Istilah penugasan tidak ada rujukan dasar hukumnya. Harusnya melalui prosedur sesuai ketentuan perundangan," jelas dia.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018