Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR RI Arteria Dahlan mengatakan bahwa tujuan pembentukan Undang Undang Organisasi Kemasyarakatan adalah untuk mengatur kemerdekaan berserikat dan berkumpul dengan lebih rinci.

"Tujuannya adalah untuk melakukan pengaturan lebih lanjut terkait dengan kemerdekaan berserikat dan berkumpul, selain mengeluarkan pikiran yang dilindungi Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945," ujar Arteria di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.

Arteria mengatakan hal tersebut ketika memberikan selaku pihak DPR dalam sidang uji materi UU Ormas yang permohonannya diajukan oleh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF).

Bahwa keberadaan ormas yang hidup berkegiatan dan difasilitasi oleh pemerintah merupakan bentuk perwujudan dari pengakuan de facto oleh negara terhadap hak untuk berserikat dan berkumpul yang diamanahkan oleh UUD 1945, tambah Arteria.

"Apa pun eksistensi ormas sebagai perwujudan kemerdekaan berserikat dan berkumpul ini, kemudian ditetapkan dalam UU Ormas," jelas Arteria.

Sebelumnya dalam sidang pendahuluan, para pemohon menyatakan merasa dirugikan atas berlakunya Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU Ormas, terutama terkait dengan kebebasan berserikat, berkumpul, hak konstitusional untuk menyampaikan pikiran dengan lisan dan tulisan, hak untuk memajukan diri dalam melakukan kegiatan sebagai warga negara secara kolektif.

Selain itu, pemohon juga merasa hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, serta kepastian hukum mereka terlanggar dengan pemberlakuan ketentuan a quo.

Menurut para pemohon, salah satu prinsip negara hukum adalah adanya pengakuan hak azasi manusia dan adanya supremasi hukum. Sementara ketentuan a quo, menurut penilaian pemohon mengancam hak-hak asasi.

Proses penjatuhan sanksi kepada ormas yang diatur dalam ketentuan a quo dinilai pemohon telah melanggar hukum, karena tidak ada proses hukum sehingga pihak yang dinilai bersalah tidak bisa memberikan pembuktian.

Para Pemohon juga mempermasalahkan frasa "paham lain" dalam ketentuan a quo, yang dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah menyatakan Pasal 1 angka 6 sampai dengan 21, kemudian Pasal 62 ayat (3), Pasal 80A, Pasal 82A ayat (1) dan ayat (2) UU No. 16 Tahun 2017 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018