Jakarta (ANTARA News) - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik keputusan penambahan jumlah Pimpinan DPR/MPR, karena diduga sarat praktek transaksi politik menjelang Pemilu 2019.

"Karena hasil kompromi, dan kompromi itu dilaksanakan menjelang Pemilu 2019, maka keputusan bagi-bagi kursi saat ini juga sarat dengan praktek transaksi. Transaksinya bisa dengan berbagai kebijakan atau posisi politik partai-partai menjelang Pemilu 2019," kata peneliti Formappi, Lucius Karus di Jakarta, Jumat.

Dia menilai Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (RUU MD3) dihasilkan semata-mata untuk mengakomodasi kepentingan sehingga hampir pasti jauh dari kata kualitas.

Menurut dia, bagaimana bisa disebut berkualitas jika UU MD3 hanya bicara tentang tambahan kursi, tanpa memperhitungkan efektivitas dan efisiensi serta kepentingan penguatan lembaga yang menjadi harapan publik.

"Karena itu tidak mengherankan jika pengaturan yang muncul sesuai kesepakatan terakhir Baleg nampak konyol dan aneh. Mereka misalnya menyepakati tambahan kursi tanpa perubahan mekanisme pemilihan dari sistem paket ke proporsional sampai pada akhir periode DPR 2014-2019," ujarnya.

Dia mengatakan dalam RUU MD3 itu pasca pemilu 2019, ketentuan tersebut berubah kembali pada sistem proporsional dan jumlah kursi pimpinan semula yakni 5 kursi untuk alat kelengkapan Pimpinan DPR.

Melihat aturan itu menurut Lucius, sulit membayangkan bagaimana DPR ini memaknai legislasi sebagai instrumen pelaksanaan fungsi representasi rakyat.

"DPR juga gagal membangun kepastian hukum dengan regulasi yang jelas dan berlaku untuk beberapa tahun ke depan. Peraturan yang selalu berubah-ubah hanya menunjukkan kerdilnya kepastian hukum dan mimpi soal penguatan lembaga," katanya.

Lucius menilai penambahan kursi pimpinan MPR juga absurd karena bagaimana menjelaskan menumpuknya anggota DPR yang diangkat menjadi wakil pimpinan DPR di saat lembaga itu sendiri sesungguhnya hanya punya beban kerja yang sangat terbatas.

Menurut dia, menambah jumlah pimpinan MPR hanya menegaskan bahwa semakin banyak anggota DPR yang menjadi elit dan mereka hampir pasti sulit diharapkan untuk bekerja.

"Mereka akan lebih suka menikmati kemewahan fasilitas sebagai pimpinan, lalu urusan sebagai wakil rakyat akan menjadi terabaikan," katanya.

Dia mengingatkan bahwa masyarakat menginginkan agar RUU MD3 menjadi penopang bagi kuatnya parlemen secara institusi untuk menunjang perbaikan kinerja para anggota parlemen.

Menurut dia harapan rakyat itu sirna dengan tindakan anggota DPR yang justru gemar mengubah-ubah aturan yang pada gilirannya sulit untuk membangun sistem.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah yang diwakili Kementerian Hukum dan HAM akhirnya menyepakati poin-poin revisi Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, salah satunya adalah penambahan tiga kursi Pimpinan MPR, satu di DPR, dan satu kursi di DPD.

"Semangatnya bagaimana kemudian penambahan pimpinan itu bisa menyembuhkan kualitas kerja parlemen bisa lebih maksimal lagi," kata Ketua Baleg DPR RI Supratman Andi Agtas usai Rapat Kerja dengan Kemenkumham, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis dini hari.

Dia mengatakan penambahan unsur Pimpinan MPR dan DPR berdasarkan perolehan suara partai politik berdasarkan urutan perolehan suara di Pemilu 2014.

Supratman menjelaskan untuk tiga kursi Pimpinan MPR yang mendapatkannya adalah PDI Perjuangan, Gerindra, dan PKB sedangkan satu kursi Pimpinan DPR diberikan kepada PDI Perjuangan sebagai pemenang Pemilu 2014.

Ada 8 fraksi partai menyetujui penambahan satu kursi pimpinan DPR, tiga pimpinan MPR dan satu kursi pimpinan DPD dalam revisi UU Nomor 7 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).

Adapun 8 fraksi itu yakni PDIP, Golkar, PAN, PKS, PKB, Gerindra, Demokrat dan Hanura, sementara itu Fraksi Partai NasDem dan PPP sementara menolak penambahan kursi pimpinan DPR, MPR dan DPD.

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2018