Jakarta (ANTARA News) - Mantan Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI Mirwan Amir mengaku dikonfirmasi soal pembahasan anggaran proyek KTP-elektronik (KTP-e) saat diperiksa menjadi saksi di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jakarta, Kamis.

KPK memeriksa Mirwan sebagai saksi dalam penyidikan tindak pidana korupsi proyek KTP-e dengan tersangka Markus Nari.

"Saya jelaskan saya kenal lama, saya tahu Markus Nari, pernah ngobrol dengan Markus Nari. Terus ditanya masalah anggaran, kebetulan saya kan Wakil Pimpinan Banggar. Jadi saya jelaskan masalah pembahasan APBN, postur APBN itu saja," kata Mirwan seusai diperiksa di gedung KPK, Jakarta, Kamis.

Mirwan menyatakan tidak ada lobi dari Markus Nari soal pengurusan penambahan anggaran proyek KTP-e saat itu.

"Tidak, tidak pernah sama sekali karena memang tidak dibahas di Badan Anggaran dan itu semua ada di Komisi II," katanya.

Markus Nari yang saat itu anggota Komisi II dari Fraksi Partai Golkar disebut menerima Rp4 miliar dan 13 ribu dolar AS dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri Sugiharto.

Ia pun mengaku tidak mengetahui apakah ada kejanggalan dalam penhasan anggaran proyek KTP-e itu.

"Tidak ada, tidak ada karena itu semua di Komisi II. Badan Anggaran tidak mengetahui itu," ucap Mirwan yang juga mantan anggota DPR RI 2009-2014 dari Fraksi Partai Demokrat itu.

Sementara itu, Mirwan Amir juga disebut menerima sejumlah 1,2 juta dolar AS dalam dakwaan Irman dan Sugiharto.

Ia pun membantah telah menerima uang tersebut.

"Sama sekali tidak pernah saya terima," ungkap Mirwan.

KPK telah menetapkan anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Markus Nari sebagai tersangka dalam dua kasus terkait tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e).

Pertama, Markus Nari diduga dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-e) tahun 2011-2012 pada Kementerian Dalam Negeri dengan terdakwa Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selain itu, Markus Nari juga diduga dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Miryam S Haryani dalam kasus indikasi memberikan keterangan tidak benar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada persidangan kasus KTP-e.

Atas perbuatannya tersebut, Markus Nari disangkakan melanggar Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal tersebut mengatur mengenai orang yang sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang terdakwa dalam perkara korupsi dapat dipidana maksimal 12 tahun dan denda paling banyak Rp600 juta.

Selain itu, KPK juga menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan Kartu Tanda Penduduk berbasis Nomor Induk Kependudukan secara nasional (KTP-e) 2011-2013 pada Kemendagri.

Markus Nari disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atau pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2018