Lalu saya katakan lagi, andaikata saya jadi ketua timnya, saya tidak akan merekomendasi pencabutan itu, kira-kira seperti itu, jadi pernyataan saudara Farhat ke saya diputar balik seolah-olah saya yang bicara, saya tidak pernah menyatakan seperti itu
Jakarta (ANTARA News) - Wakil Bendahara Umum Partai Golkar Zulhendri Hasan menjelaskan soal percakapan dirinya dengan pengacara Farhat Abbas soal merancang saksi-saksi agar mencabut keterangan dalam persidangan di KTP-Elektronik.

"Saya sampaikan bahwa percakapan saya dengan Farhat Abbas itu tidak terlepas dari saudara Farhat Abbas pernah menghubungi saya beberapa hari setelah rapimnas Golkar yang kedua di Balikpapan, dimana pak Novanto menyatakan kepada seluruh kader partai Golkar bahwa beliau `clean and clear` dijamin 100 persen tidak terlibat dalam kasus e-KTP," kata Zulhendri usai diperiksa di gedung KPK Jakarta, Selasa.

Zulhendri Hasan diperiksa sebagai saksi dalam perkara tindak pidana dugaan korupsi merintangi proses penyidikan, persidangan dan memberikan keterangan tidak benar pada persidangan kasus KTP-E untuk tersangka anggota DPR Markus Nari.

Pada persidangan 22 Agustus 2017 lalu, pengacara Elza Syarif membenarkan keterangan soal percakapan antara Farhat Abbas dengan seorang bernama Zul yang disebut sebagai seorang petinggi Golkar di bidang hukum. Dalam pebicaraan Zul dan Farhat Abbas, Elza mendengar bahwa Zul tidak setuju dengan cara-cara Rudy Alfonso terkait perkara e-KTP karena Rudy merancang agar saksi-saksi mencabut keterangan dalam pesidangan.

"Saya dengan percakapan itu di mobil dialog mereka karena mereka menggunakan `hands free`, terus saya bilang sama Farhat mungkin dia (Zul) iri sama Rudy karena Rudy tiba-tiba menjadi ketua mahkamah partai (Golkar) menggantikan Pak Muladi, padahal dia (Rudy) baru pernah terkena kasus di Batam, saya dengerkan cerita saja," kata Elza dalam kesaksiannya pada 22 Agustus 2017.

Menurut Zulhendri, Farhat mengubunginya dan memberitahu mengenai pencabutan BAP Miryam S Haryani dalam perkara KTP-E itu.

"Dalam percakapan itu beliau aman berdasarkan pidato politik beliau pada saat rapimnas tadi, lalu adanya konstruksi pencabutan BAP itu saya justru tahu dari Farhat, lalu saya berpandangan kalau dicabut itu BAP itu tidak akan mempengaruhi posisi Pak Novanto," ungkap Zulhendri.

Alasannya, menurut Zul, sekalipun BAP anggota DPR Komisi II Miryam S Haryani dicabut, KPK masih memiliki bukti-bukti petunjuk atau keterangan saksi lain yang menyebutkan hal yang sama.

"Lalu saya katakan lagi, andaikata saya jadi ketua timnya, saya tidak akan merekomendasi pencabutan itu, kira-kira seperti itu, jadi pernyataan saudara Farhat ke saya diputar balik seolah-olah saya yang bicara, saya tidak pernah menyatakan seperti itu," tambah Zulhendri.

Zulhendri pun membantah mengetahui mengenai pencabutan BAP tersebut.

"Yah saya tidak tahu (pencabutan BAP), pertama saya bukan dalam kapasitas sebagai tim hukum saya adalah wabendum tidak ada relevansinya dengan pekerjaan tim hukum," ungkap Zulhendri.

Markus Nari disangkakan pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pada penggeledahan 10 Mei 2017 lalu KPK menemukan barang bukti elektronik dan BAP Markus saat masih menjadi saksi dalam penyidikan KTP-E. Markus pun sudah dicegah untuk bepergian selama 6 bulan ke depan sejak 30 Mei 2017.

Markus Nari adalah salah satu anggota DPR yang disebut dalam dakwaan mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto dalam kasus dugaan korupsi pengadaan KTP-E 2010-2012.

Dalam dakwaan disebutkan guna memperlancar pembahasan APBN-P tahun 2012 tersebut, sekitar pertengahan Maret 2012 Irman dimintai uang sejumlah Rp5 miliar oleh Markus Nari selaku anggota Komisi II DPR. Untuk memenuhi permintaan tersebut, Irman memerintahkan Suharto untuk meminta uang tersebut kepada Direktur Utama PT Quadra Solution Anang S Sudiharjo yang merupakan anggota konsorsium PNRI.

Atas permintaan itu, Anang hanya hanya memenuhi sejumlah Rp4 miliar yang diserahkan kepada Sugiharto di ruang kerjanya. Selanjutnya Sugiharto menyerahkan uang tersebut kepada Markus Nari di restoran Bebek Senayan, Jakarta Selatan.

Namun dalam sidang 6 April 2017 lalu, Markus membantah hal tersebut.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017