Jakarta (ANTARA News) - Tim kuasa hukum H Juhri, mandor tanah di Meruya Selatan, menyatakan juru sita Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat telah melakukan manipulasi data ketika melakukan sita jaminan lahan yang kini menjadi sengketa tersebut. Hal itu dinyatakan tim tersebut ketika membacakan jawaban dalam perkara sengketa tanah Meruya Selatan di PN Jakarta Barat, Senin. Salah satu anggota tim kuasa hukum, Taufik Hais melalui layanan pesan singkat menyatakan penyitaan dilakukan sebanyak dua kali. Kedua penyitaan itu dilakukan pada saat sengekata tanah Meruya Selatan masih dalam proses perkara di pengadilan. Pada berita acara penyitaan pertama tertanggal 20 Januari 1997, juru sita menyatakan bahwa di lahan yang disengketakan itu telah berdiri sejumlah bangunan milik warga. Namun, katanya, kenyataan itu tidak dilaporkan kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN). Sedangkan dalam berita acara penyitaan kedua tertanggal 1 April 1997 dan 7 April 1997, juru sita melaporkan kepada BPN bahwa tidak terdapat bangunan milik warga di lahan tersebut. Padahal, banyak terdapat bangunan milik warga di lahan tersebut, tidak jauh berbeda dengan kondisi pada saat dilakukan sita jaminan yang pertama. "Ini adalah suatu manipulasi," katanya. Sementara itu kuasa hukum lainnya, Petrus Balapationa mengatakan seharusnya Mahkamah Agung (MA) lebih teliti dalam melihat fakta tersebut. Menurut dia, MA sebagai lembaga peradilan tingkat akhir harus memperhatikan semua fakta yang muncul selama proses perkara. Dengan begitu, katanya MA tidak akan memberikan putusan yang tidak sesuai dengan fakta yang ada. Berdasar fakta tersebut, maka tim kuasa hukum H Juhri menyatakan menolak rencana eksekusi yang akan dilakukan PT Portanigra atas tanah di Meruya Selatan, Jakarta Barat. Juhri terlibat dalam sengketa tanah itu setelah dirinya disebut sebagai pihak yang ikut bertanggungjawab terhadap kepemilikan ganda tanah di Meruya Selatan oleh PT Portanigra dan warga setempat. Sebelumnya, Juhri juga sempat berselisih dengan PT Portanigra karena dia mengaku tidak pernah menjual tanah kepada perusahaan tersebut. Juhri, melalui kuasa hukumnya, Junaedi, sebelumnya menyatakan PT Portanigra tidak memiliki hak atas tanah di daerah itu karena tidak pernah terjadi transaksi jual beli diantara kedua pihak tersebut. Sengketa lahan di Meruya Selatan mencuat setelah Portanigra berencana melakukan eksekusi lahan yang diklaim milik perusahaan itu, meski sebagian telah menjadi pemukiman penduduk. Keputusan eksekusi lahan ditetapkan oleh PN Jakarta Barat pada 9 April 2007. Putusan yang ditandatangani Ketua PN Jakarta Barat, Haryanto, SH itu berdasarkan putusan PN Jakarta Barat tertanggal 24 April 1997 No.364/PDT/G/1996/PN.JKT.BAR jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta tertanggal 29 Oktober 1997 No. 598/PDT/1997/PT.DKI dan jo Putusan Mahkamah Agung tanggal 26 Juni 2001 No: 2863 K/Pdt/1099. Sampai saat ini, kawasan yang menjadi sengketa itu dihuni sekitar 5.563 kepala keluarga (KK) atau 21.760 jiwa. Jumlah itu meliputi warga di perumahan karyawan Wali Kota Jakarta Barat, Kompleks perumahan DPR 3, perumahan Mawar, Meruya Residence, kompleks perumahan DPA, perkaplingan BRI, kompleks perkaplingan DKI, Green Villa, PT Intercon Taman Kebon Jeruk, dan perumahan Unilever.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007