Oleh Masuki M. Astro Surabaya (ANTARA News) - Penembakan yang dilakukan anggota Korps Marinir yang menewaskan empat orang warga di Desa Alas Tlogo, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, di Rabu pagi itu sangat mengejutkan, karena pada 22 Maret 2007 sengketa tanah telah "selesai" saat TNI Angkatan Laut (AL) bersedia memberikan kompensasi kepada warga setempat. Komandan Korpas Marinir (Dankormar), Mayjen TNI (Mar) Safzen Noerdin, pun sangat terkejut dengan insiden menjelang akhir masa jabatannya di jajaran korps baret ungu itu. Safzen Noerdin dijadwalkan menjalani regenerasi pada 6 Juni 2007. "Selama ini marinir dikenal sebagai prajurit yang dekat dan membela rakyat, kok sekarang justru terjadi peristiwa seperti itu. Saya atas nama pimpinan TNI AL dan Korps Marinir menyesal, dan meminta maaf kepada keluarga korban," katanya kepada wartawan di Surabaya, Rabu. Korban tewas akibat terjangan peluru oknum marinir adalah Mistin yang tertembak di dada, Rohman tertembak di kepala, Siti Khotijah tertembak di mata dan Sutam (45) tertembak di kepala. Perebutan sebagian tanah di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) itu selama ini tercatat melalui jalan panjang. Tanah Puslatpur tersebut sejatinya tidak termasuk wilayah Grati, melainkan di Kecamatan Lekok dan Nguling. Tanah itu lebih dikenal sebagai tanah Grati karena terletak di bekas Kawedanan Grati. Tanah yang ditempati warga itu potensial menimbulkan masalah karena warga yang menghuni sudah mencapai 11 desa, yakni Alastlogo, Wates, Semedusari, Jatirejo, Pasinan, Balunganyar, Branang, Gejugjati, dan Tampung di Kecamatan Lekok, serta Desa Sumberanyar, dan Sumberagung di Kecamatan Nguling. Untuk mempertahankan tanah dan rumahnya, maka warga tidak jarang memblokir jalan utama Surabaya ke Pulau Bali, khususnya saat proses hukum sedang berjalan di Pengadilan Negeri (PN) Bangil. Upaya hukum warga pun kalah karena bukti-bukti yang mereka miliki dinilai lemah. Di era awal reformasi, warga juga tercatat membabat ribuan pohon mangga yang ditanam investor di lahan milik TNI AL itu, sehingga penanam modal bersangkutan mengalami kebangkrutan. Kasus itu diperparah lagi lantaran ternyata banyak praktik sewa tanah secara tidak sah di lahan milik TNI AL. Warga yang menyewa ditarik ratusan ribu rupiah oleh oknum tertentu, yang bukan anggota TNI AL, di wilayah tersebut. Oleh karena itu, Panglima Komando Armada RI Kawasan Timur (Pangarmatim), Laksda TNI Moekhlas Sidik MPA, pernah meminta mereka yang terlibat dalam kegiatan sewa tanah secara tidak sah itu menghentikan perbuatannya. Jalan keluar atas sengketa tanah itu akhirnya datang, Pangarmatim pun bertemu dengan Bupati Pasuruan, Jusbakir Al Jufri, di Pasuruan, pada 22 Maret 2007, dan menyatakan bahwa TNI AL bersedia merelokasi warga. Pada kesepakatan itu, TNI AL memberikan lahan untuk masing-masing rumah warga seluas 500 meter pesegi (m2). Meskipun tidak menyebutkan angka nominalnya, Pangarmatim saat itu mengakui, anggaran relokasi itu cukup besar, sehingga rencana anggaran relokasi akan diusulkan ke negara melalui pimpinan masing-masing, yakni TNI AL dengan Pemerintah Kabupaten Pasuruan. Ia menjelaskan, pelepasan lahan kepada 5.702 rumah yang ada di lahan Puslatpur itu akan diusulkan ke Inventaris Kekayaan Negara (IKN). "Lahan tersebut diberikan kepada warga, agar mereka bisa hidup tenang, damai, dan tidak demo lagi, sedangkan TNI AL akan segera memberdayakan lahan tersebut sebagai lahan Pusat Latihan Tempur," kata Pangarmatim. Menurut dia, relokasi rumah warga bisa dilakukan secara bertahap. Warga yang paling mendesak direlokasi, seperti warga kurang mampu, atau rumah yang posisinya berada di tengah, maka relokasi akan segera didahulukan. TNI AL mengupayakan penempatan rumah baru bagi warga itu berada di pinggir lahan Puslatpur sehingga keselamatan warga tetap terjaga saat prajurit TNI AL mengadakan latihan perang. Pihaknya juga mengupayakan pemindahan itu dalam satu lokasi sehingga tidak mencabut akar budaya mereka. "Selain pemberian lahan kepada masing-masing pemilik rumah, TNI AL juga akan memberi lahan untuk fasilitas umum sebesar 20 persen. Lahan tersebut, bisa digunakan untuk tempat ibadah, pendidikan, pemerintahan, jalan, serta makam," katanya. Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmatim, Letkol Laut (KH) Drs Toni Syaiful, mengatakan bahwa TNI AL memiliki landasan hukum yang kuat terhadap tanah itu, apalagi beberapa kali sidang di pengadilan selalu dimenangkan oleh TNI AL. Dari keterangan Komandan Pangkalan Utama TNI AL (Lantamal) V Surabaya, Laksamana Pertama TNI Aminullah Syuhari, terungkap bahwa dasar hukum dan riwayat kepemilikan lahan IKN di Puslatpur Grati itu dibeli dengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) seluas 3.569,205 hektare (ha). Sedangkan, Kepala Badan Penyaluran Tenaga Kerja TNI AL Wilayah Timur (Kabalurjaltim), Kolonel Laut M. Haryono, juga merupakan saksi sejarah proses penjualan tanah tersebut juga memperkuat pernyataan Komandan Lantamal V. Kolonel M. Haryono yang lahir dan dibesarkan di daerah Grati, Pasuruan, mengungkapkan bahwa penduduk setempat telah menjual tanah tersebut ke TNI AL sekitar tahun 1960 senilai total Rp77.658.210. Saat ini, sekira 36.000 jiwa warga telah menempati sekitar 150 ha di lahan itu. Masalah itu menjadi rumit karena Pemkab Pasuruan, sebagaimana diakui Jusbakir selaku bupati, bahwa pihaknya tidak memiliki tanah untuk merelokasi warga, dan sehingga masalah tersebut akan disampaikan secara berjenjang ke Menteri Dalam Negeri (Mendagri). "Kami belum memiliki gambaran mengenai tanah untuk relokasi itu, tapi pada hakekatnya kami mendukung rencana TNI AL untuk menjadikan tanah Grati ini sebagai pusat latihan tempur," kata Jusbakir, sebelum dicapai kesepakatan. Mengenai sejarah kepemilikan tanah itu, Letkol Laut (KH) Drs Toni Syaiful mengatakan, pembebasan lahan di tahun 1960 itu dilakukan melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (PTUN) dengan bukti sertifikat. "Negara, dalam hal ini TNI AL membeli lahan tersebut untuk membangun Pusat Pendidikan dan Latihan TNI AL terlengkap dan terbesar, baik untuk pendidikan kejuruan Korps Marinir maupun Pelaut," katanya. Namun, TNI AL masa itu belum memiliki dana, sehingga pembangunannya belum dapat direalisasikan, dan TNI AL memanfaatkannya sebagai area perkebunan dengan menempatkan 185 Kepala keluarga (KK) prajurit untuk menjaga dan bermukim di daerah itu, agar lahan tidak terlantar. "Tahun 1984, TNI AL menunjuk Puskopal untuk memanfaatkan lahan tersebut sebagai perkebunan yang dikelola secara profesional dengan menggandeng PT Kebun Grati Agung, agar lahan itu menjadi produktif," katanya. Kerjasama itu berhasil membuat areal yang sebelumnya tandus dan kering ekstrim menjadi area perkebunan yang menghasilkan ditunjang dengan irigasi pengairan yang baik, dan juga mampu menyerap pekerja dari penduduk sekitarnya. Namun, pasca-reformasi tahun 1998, telah memunculkan keinginan warga yang semula hanya sebagai penggarap untuk memiliki lahan. Mereka menganggap bahwa lahan itu milik leluhur mereka. Setelah itu, warga pun menuntut ke pengadilan dengan didampingi pengacara dari Probolinggo dan Malang, namun mereka kalah. Setelah kalah di Pengadilan, warga mulai emosional dan kehilangan kendali dengan melakukan tindakan anarki, antara lain pada 23 September 2001 menebang 12.000 pohon mangga siap panen. "Warga juga merusak pompa dan jaringan pengairan perkebunan, penutupan jalan pantura, penyerobotan lahan secara liar yang dikoordinir oleh oknum kepala desa dengan menjual dengan dikapling-kapling," ujar Toni. Oleh karena itu, mulai 16 Mei 2001, TNI AL memutuskan menjadikan wilayah itu ke rencana semula, yakni sebagai Puslatpur prajurit. Sementara itu, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Pasuruan, Akhmad Zubaidi, beberapa waktu lalu, setelah dicapai kesepakatan relokasi TNI AL dengan warga, menyambut baik niat baik TNI AL. Kesepakatan relokasi bagi ribuan warga yang menempati 11 desa di wilayah Kecamatan Lekok dan Nguling, Kabupaten Pasuruan, tersebut dinilainya sebagai kesepakatan yang cukup rasional. "Untuk itu saya mengimbau warga Desa Alastlogo yang baru saja kalah dalam gugatannya di Pengadilan Negeri Bangil, tidak perlu lagi menempuh upaya banding, meski masih mempunyai hak untuk itu. Bukti-bukti yang dimiliki warga tidak sekuat dengan bukti-bukti yang dimiliki TNI AL," katanya. Menurut dia, pemberian lahan seluas 500 m2 per rumah sebenarnya juga masih bisa digunakan untuk persiapan membangun hingga tiga rumah, bagi anggota keluarganya yang akan mandiri. Untuk waktu relokasi, Zubaidi berharap, dalam tahun 2007 minimal bentuknya harus sudah tampak. Minimal fasilitas umum telah terbangun terlebih dulu, sehingga pada 2008 Pusat Latihan Tempur TNI AL sudah busa digunakan sepenuhnya. Namun, sebelum proses relokasi itu terealisasi, kesepakatan itu ternodai oleh peristiwa tewasnya empat orang tersebut. Mengenai siapa yang salah dalam peristiwa itu, Komandan Kormar meminta agar menunggu pengusutan hukum lebih lanjut. "Prosesnya harus adil. Kalau anggota saya salah, silahkan diproses lebih lanjut, tapi kalau tindakannya benar, tidak boleh disalahkan. Mereka harus bebas," katanya. TNI AL dan berbagai pihak yang berharap penyelesaian sengketa Grati tersebut berlangsung secara positif, akhirnya harus menerima kenyataan adanya "noda" pada Rabu kelabu itu berkaitan dengan jatuhnya empat korban jiwa, yang kasusnya tengah disidik pihak berwajib guna dituntaskan secara hukum. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007