"Orang pandai belum tentu arif. Orang arif biasanya pandai".

Itu nasihat seorang pertapa kepada Prabu Parikesit, Raja Hastina, usai Perang Bharatayudha.

Parikesit adalah anak Abimanyu, yang gugur dalam perang Bharatayudha, dan cucu Arjuna, yang terkenal sakti, kekasih para dewa, menurut sebuah kisah dalam wayang kulit.

Alkisah, Parikesit sedang diharu biru kebingungan karena rakyatnya belum juga bisa menikmati keadilan dan kemakmuran. Padahal, Kurawa, yang dikutuk sebagai manifestasi ketidakadilan dan kejahatan akibat menuruti angkara murka sudah sirna, tertumpas tandas tiada sisa.

Maka ia pun masuk hutan mencari orang pintar untuk mencari jawaban mengapa janji tentang masyarakat adil makmur belum mewujud juga setelah Kurawa, musuh nomor satu yang melambangkan kebathilan musnah.

Sang pertapa yang ditemuinya, sebelum memberi jawaban, menguji Parikesit terlebih dulu dalam kepandaiannya memanah. Abimanyu, ayahnya, terkenal ahli memanah.

Apalagi, Arjuna, kakeknya, kondang sebagai jagoan melepas anak panah, termasuk panah asmara.

Parikesit diminta memanah satu buah pohon Lo yang sudah masak. Pohon Lo/Elo dalam bahasa Jawa, Loa/Lowa dalam bahasa Sunda, Ara dalam bahasa Indonesia dan ficusracemosa dalam bahasa Latin adalah tanaman yang sering tumbuh di pinggir sungai, berakar gantung seperti beringin, menjulur ke tanah.

Jika sudah sampai tanah, akarnya mengikat kuat tanah dan batu, mencegah erosi dan longsor dan di sela-selanya kadang muncul mata air.

Buah Lo sebesar bola tenis meja, berwarna-warni, makanan kera berekor panjang dan burung pemakan buah. Rasanya asam manis, cocok untuk rujak.

Buah Lo dipercaya mempunyai khasiat untuk mengobati berbagai penyakit, termasuk gangguan pencernaan dan keputihan.

Dengan rendah hati, Parikesit menjawab: "Dosa apa yang saya sandang, jika saya menolak permintaan Bapak Pertapa, walau keahlian memanah saya jauh dibanding Ayah, apalagi Kakek".

Namun, sebelum memanah buah Lo, Parikesit menyampaikan pandangannya tentang buah yang akan dipanahnya agar jatuh.

Takut menciderai
Buah yang masak itu dalam satu tangkai bersama dengan yang belum masak.

"Saya takut, kalau tidak tepat bidikan saya, buah yang belum masak itu ikut rontok sia-sia, tiada makna", kata Parikesit.

Sang pertapa menyimak jawaban itu dengan seksama. Di atas tangkai buah itu terdapat dahan yang rapuh, tempat sarang burung dengan bayi-bayi burung.

"Saya takut, kalau bidikan saya meleset, dahan rapuh itu akan rontok dan sarang burung itu akan jatuh. Padahal, bayi-bayi burung itu masih perlu disuapi induknya. Saya takut mereka akan mati sia-sia", kata Parikesit.

Mendengar jawaban itu, sang pertapa langsung menyahut: "Duh Sang Prabu, memang Ananda pantas menjadi pemimpin karena pandai sekaligus arif".

Ia pun mengulangi ungkapan di awal tulisan ini. Kata arif sering ditambahi bijaksana, menjadi arif bijaksana. Bahasa Inggrisnya "wisdom" (dibaca "wisdhem". Sering saya plesetkan sebagai singkatan "wis adhem" (sudah dingin. Maksudnya, sudah tidak punya banyak keinginan lagi).

Kisah ini menyajikan hikmah: seorang pemimpin perlu pandai, menguasai ilmu dan keterampilan teknis dan kearifan atau kebijakan.

Seseorang disebut arif bijaksana berkat dikaruniai visi holistik: mampu memahami sesuatu secara bulat, keseluruhan, totalitas: yang tersurat dan tersirat untuk menghindari dampak negatif yang tidak perlu dan mengakibatkan pengorbanan sia-sia dari mereka yang tidak berdosa.

Visi umumnya diperoleh dari pengalaman panjang dan perenungan (tafakur, refleksi, instropeksi): olah (pengendalian) pikir, olah rasa dan olah hati atas apa yang dialami, hingga dikaruniai kepekaan bathin (spiritual).

Pohon Lo disebut dalam kitab-kitab suci. Dalam kisah Buddha Gautama, pohon Lo disebut Bodhi. Pangeran Sidharta Gautama bersemadi di bawah pohon Lo sampai mendapat pencerahan spiritual hingga disebut Buddha.

Dalam Injil, disebut pohon yang dikutuk Yesus dan dalam Islam disejajarkan dengan pohon Tin. Karena besar, diameternya bias lebih 50 cm, dan tingginya bias mencapai 17 meter, pohon Lo sering dikeramatkan, dianggap angker dan ada makhluk halus penunggunya.

Karena takut diganggu penunggunya, banyak orang tidak berani menebang pohon Lo. Dampaknya: tidak mudah terjadi erosi dan tanah longsor dan sumber air terjaga.

*) Penulis adalah wartawan senior, relawan sosbudling, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Oleh Parni Hadi *)
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017