Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak mempertimbangkan pencabutan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) mantan anggota Komisi II DPR dari fraksi Partai Hanura Miryam S Haryani dalam perkara korupsi pengadaan KTP-Elektronik (KTP-E).

"Meski pun Miryam S Haryani dalam persidangan mencabut seluruh keterangannya sebagaimana diuraikan dalam BAP, namun penuntut umum sama sekali tidak mempertimbangkan pencabutan BAP tersebut," kata jaksa KPK Riniyati Karniasih di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis.

Jaksa menyatakan pencabutan BAP Miryam tanpa disertai alasan yang sah dan logis dan meminta majelis hakim tidak mempertimbangkan pencabutan keterangan Miryam.

"Pemeriksaan perkara pidana pada tahap persidangan bertujuan untuk menemukan kebenaran materil, oleh karena itu setiap orang yang menjadi saksi atau terdakwa bebas memberikan keterangan namun tidak berarti bebas memberikan kebohongan, sehingga wajar jika pembentuk undang-undang mengkualikasikan pemberian keterangan bohong sebagai tindak pidana," kata Riniyati.

"Berdasarkan hal itu pula, penuntut umum memohon agar majelis hakim juga tidak pertimbangkan pencabutan keterangan dari Miryam S Haryani tersebut," katanya.

Selain itu menurut jaksa alasan pencabutan BAP Miryam, di antaranya karena ada tekanan dari penyidik, telah terbantahkan oleh keterangan penyidik KPK Ambarita Damanik, M.I Susanto dan Novel Baswedan, video rekaman pemeriksaan Miryam serta tulisan tangan Miryam yang pada pokoknya berisi keterangan Miryam mengenai perbuatannya mendistribusikan uang ke anggota Komisi II DPR.

Jaksa menjelaskan, keterangan Miryam juga bertentangan dengan keterangan Diah Anggraeni, Josep Sumartono dan keterangan para terdakwa yang menyatakan bahwa Miryam telah menerima uang dari terdakwa II terkait dengan KTP-E sebesar 1,2 juta dolar AS.

Alasan lain jaksa tidak mempertimbangkan pencabutan BAP Miryam adalah karena ada dugaan Miryam mencabut BAP karena adanya arahan pihak-pihak lain yang berkepentingan dalam perkara KTP-E.

"Hal ini diperkuat dengan ditemukannya bukti yang cukup atas perbuatan Markus Nari menggerakkan Miryam untuk mencabut BAP," kata Riniyati.

Karenanya, ia melanjutkan, pada 30 Mei KPK menetapkan Markus Nari sebagai tersangka dalam tindak pidana menghalangi jalannya penuntutan dan pemeriksaan sidang pengadilan.

"Yaitu menggerakkan Miryam S Haryani untuk mencabut BAP," ungkap Riniyati.

Berdasarkan alasan-alasan tersebut, jaksa meminta agar pencabuatan BAP Miryam dikesampingkan.

"Sejalan dengan hal itu Penuntut Umum meminta kepada majelis hakim untuk tidak mempertimbangkan pencabutan BAP Miryam S Haryani dan tetap menggunakan keterangan Miryam yang diberikan di depan penyidik sebagai alat bukti yang sah," tegas jaksa.

Dalam perkara ini terdakwa I, mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri Irman dituntut tujuh tahun dan pidana denda Rp500 juta subsider enam bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sejumlah 273.700 dolar AS dan Rp2,248 miliar serta 6.000 dollar Singapura subsider dua tahun penjara.

Sedangkan terdakwa II mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto dituntut lima tahun penjara ditambah denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan serta kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp500 juta subsider 1 tahun penjara.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017