Jakarta (ANTARA News) - Bulan Juni menjadi awal musim kemarau 2017 di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan pada bulan ini sebagian besar wilayah di Indonesia masuk musim kemarau.

Jika bertanya kapan harus melakukan antisipasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla), Deputi Bidang Klimatologi BMKG R. Mulyono Rahadi Prabowo memandang perlu antisipasi pada tahap awal kemarau seperti sekarang ini, mulai dari upaya teknis hingga nonteknis.

Indeks gabungan El Nino dan Southern Oscillation (ENSO) hingga Mei III 2017 berada di angka 0,5, menunjukkan kondisi normal. Suhu permukaan temperatur laut (Sea Surface Temperature/SST) di Pasifik Tengah dan Timur mulai menunjukkan anomali positif. Namun, menurut dia, masih dalam kisaran normal.

Indeks Dipole Mode hingga Mei 2017 normal dan prediksi BMKG dari Juni hingga November 2017 juga ada dalam kondisi normal. Namun, NASA memprediksi indeks Dipole Mode dari Juni hingga November 2017 akan ada dalam kondis positif kuat.

Hingga Mei 2017, curah hujan menurun meski masih ada di beberapa daerah mencapai 200 s.d. 300 milimeter (mm) per bulan, seperti di Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Meski demikian, berdasarkan catatan BMKG, pada masa itu sudah termonitor titik panas karhutla.

Berdasarkan prakiraan hujan dasarian BMKG pada minggu ke-2 hingga minggu ke-1 Juli 2017, curah hujan menurun dari kisaran menengah hingga rendah. Wilayah Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan bagian selatan Papua tampak berwarna kuning hingga cokelat tua yang menunjukkan curah hujan menengah hingga rendah.

Prakiraan curah hujan di tiga provinsi di Sumatera yang langganan terjadi karhutla, seperti Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan pada periode tersebut akan rendah di antara 20 s.d. 50 mm/bulan.

Prakiraan curah hujan di tiga provinsi di Kalimatan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan) ada dalam kondisi menengah di antara 50 s.d. 100 mm/bulan.

Berdasarkan prakiraan BMKG, puncak musim kemarau pada tahun 2017 umumnya terjadi pada bulan Juli, Agustus, dan September. Terjadi pergeseran puncak musim kemarau jika dibandingkan dengan data 1981 s.d. 2010 yang biasanya terjadi mulai Juni, Juli, hingga Agustus.

Walaupun demikian, wilayah Indonesia yang berada di utara khatulistiwa masih tinggi berpeluang hujan.

BMKG memprakirakan kondisi kemarau di wilayah Indonesia pada tahun ini tidak akan sekering pada tahun 2015. Namun, juga tidak akan sebasah pada tahun 2016.



Nirkarhutla?

Data pada tahun 2015, asap karhutla menyebabkan tujuh orang meninggal dunia di Riau, 19 orang meninggal secara nasional, dan tiga di antaranya merupakan anak-anak. Mereka yang terkena ISPA sebanyak 97.000 orang di Riau dan secara nasional 425.000 orang.

Kerugian ekonomi menurut Bank Dunia mencapai Rp200 triliun. Adapun biaya penanggulangan karhutla relatif sangat tinggi. Misalnya, pada tahun 2014, dalam sebulan operasi pemadaman api menghabiskan biaya Rp164 miliar.

Ahli Lingkungan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo mengatakan bahwa nirkarhutla tidak mungkin terjadi jika standar pencegahan kebakaran hutan, kebun, dan lahan yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian tidak pernah dijalankan.

Dari data akumulasi titik panas periode 2006 s.d. 2015 yang dimilikinya tercatat pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 116.738. Pada tahun berikutnya, 2007 mencapai 31.367); 2008 mencapai 28.660; 2009 mencapai 74.996; 2010 mencapai 15.762; 2011 mencapai 45.776; 2012 mencapai 52.224; 2013 mencapai 40.419; 2014 mencapai 90.581; pada tahun 2015 sebanyak 119.914 titik panas.

Dalam grafik curah hujan dan titik panas 2015 s.d. 2016 empat provinsi, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Riau, dan Sumatera Selatan, yang dimilikinya terlihat jika curah hujan rendah hingga menengah muncul titik api.

Di Kalimantan Tengah dan Sumatera Selatan titik panas muncul pada bulan Juli hingga Desember 2015; di Kalimantan Barat muncul pada bulan Juli s.d. November 2015 dan Juli s.d. Oktober 2016; di Riau muncul sejak Juni hingga Oktober 2015 dan Januari s.d. Oktober 2016.



Mitigasi

Bambang Hero mengatakan bahwa semua pihak menyebut pencegahan. Akan tetapi, sejauh ini hanya basa-basi saja, justru "memberhalakan" alat-alat berat, seperti penggunaan helikopter dan pesawat untuk melakukan water bombing saat terjadi karhutla.

"Ini gara-gara mindset (pola pikir) yang sudah terbentuk di kepala kita bahwa jika ada teknik modifikasi cuaca (TMC) dan water boombing dengan helikopter dan pesawat, kebakaran bisa ditanggulangi. Seolah-olah tanpa itu semua kita tidak bisa mengatasi karhutla," ujarnya.

Gunakan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk melakukan mitigasi, seperti penggunaan water logger untuk mengetahui kondisi lahan sehingga bisa melakukan antisipasi sebelum kebakaran terjadi.

Menurut dia, sudah tidak perlu lagi memikirkan pihak yang melawan kebijakan tata muka air tanah di lahan gambut. Pemerintah harus tegas. Jika level air lebih rendah dari minus 40 sentimeter dari permukaan lahan gambut harus segera mengupayakan penambahan air dengan menutup kanal atau memasukkan air dengan pompa.

"Hal ini yang mereka tidak mau lakukan karena akan mengeluarkan biaya lebih besar, padahal tujuannya baik untuk menyelamatkan areal mereka sendiri. Akhirnya seperti tadi, ah, tenang saja, Pemerintah akan siapkan helikopter dan pesawat untuk water boombing dan TMC," ujar Bambang Hero.

Pemerintah, menurut dia, sudah saatnya memberikan penegasan jika mitigasi tidak dilaksanakan sanksi diterapkan. Dari sanksi administrasi, sanksi pidana, sanksi perdata, aplikasi multidoor, hingga eksekusi harus benar-benar berjalan.

Deputi Bidang Penanganan Darurat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Tri Budiarto juga menegaskan hal sama untuk segera membuang pemahaman sesat seolah-olah water boombing dan hujan buatan adalah teknologi yang paling mampu menyelesaikan persoalan kabut asap.

Kekuatan masyarakat untuk melakukan pencegahan tidak boleh dilupakan. Perhatian dan pembinaan pada masyarakat sangat kurang dan itu yang harus diperkuat ke depan.

Jangan biarkan masyarakat terjebak pada paradoksal bahwa membakar hutan dan lahan yang diketahui akan berpotensi menimbulkan bencana asap tetapi tetap dilakukan dan tidak juga diberikan sanksi. Jangan biarkan imunitas negatif terjadi pada masyarakat, perasaan kebal terhadap asap karena dianggap tidak membunuh saat itu juga, ujar Tri Budiarto.

Menurut dia, pendekatan mengatasi karhutla yang selalu tertinggal adalah aspek sosiologis dan kultural dan proses perkuatan masyarakat. Namun, di sisi lain pembiaran terhadap pelaku karhutla terus terjadi sehingga pengulangan (karhutla) juga terjadi.

Oleh Virna Puspa Setyorini
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2017