Semarang (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Aparatur Negara (Men-PAN), Taufiq Effendi, mengkritik perilaku bangsa Indonesia yang suka bikin penjara bagi dirinya sendiri, karena tidak tahu apa yang ingin diraihnya dan hanya tahu kulitnya. "Di zaman Orla, apa-apa harus Nasakom. Sekarang kita hancurkan musyawarah dan mufakat, kemudian menggantinya dengan reformasi. Kita bikin penjara yang namanya reformasi," katanya di Semarang, akhir pekan lalu. Selain itu, Taufiq mengatakan, bangsa Indonesia juga mengidap sikap ambivalen dalam bersikap dan berperilaku. "Maunya demokrasi, tetapi hanya mau menang, dan tidak mau kalah," katanya. Ia mengingatkan, kalau mau menerapkan demokrasi, semua orang harus tahu akan konsekuensinya, sehingga bila sistem tersebut diterapkan harus dibarengi sikap berani menang dan mau kalah. Menurut dia, bila sudah menetapkan menjadi negara demokrasi, menetapkan sistem otonomi, menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan menjalankan reformasi, harus tahu persis segala konsekuensinya. "Hanya orang bodoh yang suka bikin penjara bagi dirinya sendiri," katanya. Ia memberi contoh, Presiden bisa mengendalikan secara baik Mendagri, namun Mendagri kesulitan mengatur gubernur, karena mereka berasal dari partai politik (parpol). Mendagri juga tidak mudah mengendalikan bupati/walikota karena mereka juga dari parpol. "Bupati juga tidak mudah mengatur para kepala desa, karena kades dipilih langsung oleh rakyat," katanya. Oleh karena itu, ia mengemukakan, jika ingin berhasil mencapai cita-cita harus memiliki konsep yang jelas dan bisa dilaksanakan. "Jangan bikin konsep yang tidak bisa dilaksanakan. Itu namanya `dakik-dakik`," katanya menggunakan istilah Jawa, "dakik-dakik", yang artinya "mengawang-awang". Kuncil sukses selanjutnya, menurut dia, adalah memiliki jaringan dan konsisten menjalankan apa yang sudah direncanakan. Pada kesempatan itu, ia mengemukakan, pengalamannya berpidato di Universitas Leiden, Belanda. Kepada para petinggi di kampus itu, Taufiq mengatakan, Indonesia kini menjadi salah satu negara terkorup, karena belajar dari kompeni zaman penjajahan Belanda (VOC) sejak 1602. "Pola-pola korupsi yang dilakukan sama persis dengan yang dilakukan VOC," katanya menambahkan. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007