Jakarta (ANTARA News) - Industri agro nasional tumbuh 6,33 persen pada kuartal I Tahun 2017, di mana angka tersebut melebihi pertumbuhan industri pengolahan nonmigas sebesar 4,71 persen. 






Pertumbuhan tersebut, salah satunya disumbang terbesar dari industri makanan dan minuman yang mencapai 8,15 persen.




“Kemudian, kontibusi industri agro terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) industri pengolahan non-migas sebesar 45,81 persen," kata Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto di Jakarta, Rabu.




Selain itu, Nilai investasi dalam negeri sekitar mencapai Rp14,69 triliun dan asing sebesar 600 juta dollar AS, serta nilai ekspor mencapai 12,12 miliar dollar AS.

 

Industri agro berperan besar dalam memberikan kontribusi bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa sektornya juga telah memiliki daya saing yang tinggi di tingkat global. 




Peluang pengembangan industri agro di Indonesia untuk masa depan masih cukup menjanjikan.

 

“Potensi tersebut karena kita dianugerahi letak geografis yang strategis termasuk dilalui oleh garis khatulistiwa, sehingga seperti sawit, tebu, kopi, dan kakao dapat tumbuh subur,” ujar Panggah.

 

Menurut Panggah, pengembangan industri agro sangat ditentukan oleh eksistensi pengelolaan sektor hulunya, antara lain dari perkebunan, pertanian, peternakan, kelautan, dan kehutanan. 




“Kalau sektor-sektor hulu ini tidak berkembang secara efisien, maka akan mempengaruhi sektor hilirnya juga menjadi tidak efisien. Jadi, tidak bisa berdiri sendiri,” tuturnya.

 

Panggah menyebutkan, posisi unggul Indonesia dari sektor industri agro, di antaranya adalah produsen sawit nomor 1, produsen kakao nomor 3, serta produsen pulp dan kertas nomor 6 di dunia. 




“Bahkan nilai ekspor minyak sawit mentah dan turunannya mencapai 20 miliar dollar AS, terbesar dari single commodity lainnya,” ungkapnya.

 

Namun, beberapa sektor industri agro nasional menghadapi tantangan dari isu negatif di tingkat internasional, misalnya resolusi sawit yang dikeluarkan oleh Parlemen Uni Eropa. 




“Gangguan ini bersifat politis untuk membendung kinerja ekspor sawit Indonesia yang terus tumbuh positif,” tuturnya.

 

Untuk itu, lanjut Panggah, pihaknya akan mengadakan pengkajian mengenai dampak resolusi tersebut terhadap pertumbuhan industri hilirnya di Indonesia. 




Kemenperin juga telah berpartisipasi secara lintas kementerian dalam menyiapkan narasi tunggal mengenai posisi Pemerintah Indonesia yang berisi fakta-fakta dari perkebunan dan industri kelapa sawit dalam negeri yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

“Kemenperin juga berpandangan bahwa rencana Parlemen Uni Eropa untuk menghentikan konsumsi biodiesel sawit pada tahun 2020, bisa membawa dampak bagi Uni Eropa sendiri karena supply biofuel yang paling murah hanya dari minyak sawit,” paparnya.

 

Panggah menyampaikan, tindakan mitigasi dari Indonesia atas hal tersebut, antara lain meningkatkan konsumsi biodiesel domestik melalui mandatory Biodiesel B-20 (PSO dan Non-PSO), mencari pasar ekspor biodiesel non konvensional seperti Jepang, Tiongkok, India, Malaysia, negara-negara di Timur Tengah serta Asia Tengah dan Utara.

Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2017