Oleh Glenda Manahampi Jakarta (ANTARA News) - "Jiwa di luar hidupku yang hilang. Kenanglah dengan mesra, sayang.. Kau kubayangkan di sisiku ada..." Itulah penggalan puisi yang dibaca Abdul Rahman Saleh di Sasana Bina Karya, Kejaksaan Agung (Kejakgung), Jakarta, Rabu (9/4). Puisi itu merupakan kata-kata perpisahan Arman, sapaan akrab Abdul Rahman Saleh, kepada korps Adhyaksa, tempat ia mengabdi selama 921 hari. Rabu itu, ia menyerahkan jabatan Jaksa Agung kepada Hendarman Supandji, juniornya. Arman "terdepak" dari Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) bersama tiga anggota kabinet lain. Arman menilai, pemberhentian seorang pejabat di tengah masa tugas, memang dapat dan kerap dispekulasikan pejabat itu gagal dalam melaksanakan tugasnya. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak menilai ia gagal, bahkan justru memuji kinerjanya dalam pemberantasan korupsi. Arman mengamini pendapat itu. Ia menilai, agenda pembaruan kejaksaan selama 2,5 tahun terakhir berjalan baik sesuai rencana. "Apakah pada zaman saya orang jadi takut korupsi? Bisa saya katakan, Ya!," kata Arman. Ia mencontohkan, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang ingin melakukan tender, bolak balik datang meminta pendapat hukum, bahkan meminta ada jaksa yang "ngepos" di perusahaan tersebut sebagai penasehat dan penjamin kontrak kerjasama atau tender itu tidak melanggar hukum. "Tidak bisa jaksa 'ngepos'. Kalau tidak jelas, ya tanya," kata penyuka kemeja batik itu. Perombakan kabinet itu terkait keinginan Presiden Yudhoyono untuk meremajakan Jaksa Agung dan menunjuk Hendarman yang sebelumnya menjabat Jaksa Agung Muda Pidana Khusus sebagai pengganti Arman. "Kalau ini persoalannya, dia memang lebih segar. Paling tidak, dia lima tahun lebih muda dari saya," seloroh Arman. Pada kesempatan itu, Arman menyesalkan adanya pemberitaan bahwa dia menangisi pemberhentian dirinya dari jajaran pembantu presiden. "Ada yang menulis saya menangis. Astagafirullah..," kata Arman. Menurut dia, perasaannya memang tergolong halus dan mudah terharu. Ia mencontohkan, pada saat kelinci peliharaannya mati, karena terinjak. Bersama anaknya, ia menangisi kematian binatang tersebut. "Itu kan bagian dari perasaan jaksa yang lembut hati," katanya, yang mendadak sontak disambut senyuman hadirin. Tetap saja penggantian pejabat itu menuai pro dan kontra, ada yang menilai hal itu wajar, ada pula yang mengatakan hal itu sebagai "pencopotan". "Ada yang bilang pemberhentian saya tidak sesuai UU Nomor 16/2004 tentang Kejaksaan. Stop perdebatan itu. Serahkan pada pakarnya, kalau perundangannya mau dibetulkan, ya betulkan," kata Arman, yang bersikeras, agar publik mendukung Hendarman. "Kita wajib dukung dia," kata pria yang mengaku bobotnya susut delapan kilo selama menjadi Jaksa Agung itu. Arman pun mengenang perkenalannya dengan Hendarman, yaitu saat keduanya studi kenotariatan di Universitas Indonesia (UI) Jakarta tahun 1983. "Saya dari UGM, dia dari Undip. Lama tak pernah ketemu, dan jumpa lagi ketika saya diangkat jadi Jaksa Agung. Yang pertama saya cari adalah dia," kata Arman. UGM yang dimaksudnya adalah Universitas Gajah Mada di Yogyakarta, sedangkan Undip adalah Universitas Diponegoro di Semarang (Jawa Tengah). Dengan Hendarman sebagai salah satu pembantunya, Arman berupaya melaksanakan fungsi penegakan hukum pada umumnya dan secara khusus pemberantasan korupsi di Indonesia. Presiden Yudhoyono yang mengusung pemberantasan korupsi lantas membentuk Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada 2 Mei 2005, dengan Hendarman selaku Ketua dari organisasi gabungan dari Kejaksaan, Kepolisian dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Jaksa Agung, Kapolri dan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan "hanya" bertindak selaku penasehat. Tim tersebut, termasuk Hendarman, diacungi dua jempol. Selama dua tahun masa tugas, tim itu menerima 280 laporan korupsi dari lingkungan istana, empat departemen, dan 16 BUMN. Anggaran Rp24 miliar yang dikeluarkan dinilai tidak sia-sia, terlebih dengan penghitungan keuangan negara yang berhasil diamankan senilai Rp3,95 triliun. Selama didampingi Hendarman, kata Arman, dia kerap mendapat pesan singkat melalui telepon selulernya (Short Messages Service/SMS) yang bernada "memecah belah". "Ada yang bilang, `anda membesarkan macan, nanti anda diterkam`. Yang lain bilang, Hendarman lebih berani," kata mantan wartawan Harian Nusantara itu. Namun, Arman tidak melihat Hendarman seperti itu. Jaksa Agung dan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Khusus (JAM Pidsus) adalah satu, kata Arman. "Perlu anda ketahui, tidak ada orang yang dihukum mati, kalau tidak saya tanda tangani. Tidak ada orang yang ditahan kalau tidak saya tanda tangani. Tidak ada orang yang dikeluarkan dari tahanan kalau tidak saya tanda tangani," kata pria kelahiran Pekalongan, Jawa Tengah, pada 1 April 1941 itu. Bagi dia, Hendarman adalah adik, yang ia bidani kelahirannya sebagai Jaksa Agung. Ia berharap, kepemimpinan Hendarman yang merupakan jaksa karier, dapat berjalan lebih baik dibandingkan eranya. "Kakak yang baik melahirkan adik yang baik, bahkan lebih baik," kata Arman. Mantan Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta itu mengatakan, ia berharap banyak pada aparat penegak hukum, agar tetap menjaga timbangan keadilan yang bila tidak dijaga, akan berkurang keakuratannya. "Saya bilang sama orang-orang, kalau lama bekerja jadi hakim, polisi, lama-lama timbangan keadilannya berkurang, jadi 'easy going', permisif," kata Arman. Ia menceritakan, saat pengajuan rencana penuntutan untuk hukuman bagi Anik Koriah (31), seorang ibu dari Bandung yang membunuh tiga anak kandungnya dalam sehari pada Juni 2006. Ancaman maksimal bagi kasus pembunuhan adalah hukuman mati, sehingga ia perlu memanggil Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Abdul Hakim Ritonga, terkait pengajuan rencana penuntutan pidana. "Pembicaraan soal visum, kejiwaan. Ibu yang membunuh tiga anaknya sekaligus itu apa, kalau tidak sakit? Akhirnya jelas, tim dokter juga bilang itu gangguan kejiwaan. Orang tidak bisa mempertanggungjawabkan. Terbukti saat vonis, dia dimasukkan ke perawatan," ujarnya. "Dia tidak tampak kesenangan, tidak senyum-senyum. Bayangkan kalau orang sakit dihadapkan ke regu tembak," kata pria yang pernah beradu akting dengan artis Jenny Rachman dalam film "Kabut Sutra Ungu" (1980) itu. Arman meminta, agar Hendarman selaku Jaksa Agung yang baru tidak melupakan kasus pembunuhan pejuang Hak Asasi Manusia (HAM), Munir, yang dinilainya sebagai skandal berat yang memalukan bagi aparat penegak hukum Indonesia. Terkait pembinaan internal Korps Adhyaksa, Arman juga mengingatkan Hendarman, agar terus memperhatikan jaksa dan staf kejaksaan baik dalam masalah ekonomi, hak asasi maupun masalah keseharian lain. Pria bersosok tinggi kurus itu menyoroti masalah tinggi badan minimum bagi perekrutan pegawai kejaksaan. Ia bercerita, ada orang yang mengeluhkan kegagalan tes sehingga tidak bisa menjadi jaksa, karena tingginya kurang satu sentimeter. "Soal tinggi badan dalam penerimaan jaksa, jangan dijadikan persoalan lagi. Itu saya tidak habis pikir. Memangnya di sini itu peragawan," kata lelaki yang dikenal sebagai kutu buku itu. Abdul Rahman Saleh adalah anak kedua dari delapan bersaudara yang lahir dari pasangan suami istri Saleh dan Maryam. Hobi membaca berasal dari kebiasannya menjaga toko buku orangtuanya di Pekalongan, Jawa Tengah. Kebiasaannya membaca buku tidak pernah dilupakan hingga sekarang, sehingga koleksi bukunya banyak dan tertata rapi. Ketika berita Hendarman resmi ditunjuk sebagai Jaksa Agung, wartawan bertanya-tanya dan penasaran ingin melihat proses "boyongan" Arman dari Kantor Jaksa Agung. "Bapak cuma punya lukisan di ruang kerja, kalau buku-buku, ya ada di perpustakaan pribadinya di rumah dinas," kata salah satu orang dekat Arman. Dalam kesempatan itu, Arman juga menyampaikan terima kasih pada Hendarman selain karena pendampingannya selama ini, juga karena diizinkan menetap selama beberapa waktu di rumah dinas Jaksa Agung di Jalan Denpasar Raya Nomor 12 A, Kuningan, Jakarta Selatan. "Saya sudah mohon beliau izinkan saya tinggal sementara waktu di rumah dinas sembari berberes barang dan mencari rumah kontrakan," kata Arman, yang lagi-lagi disambut senyum geli koleganya. Nama Abdul Rahman Saleh mencuat ketika sebagai Hakim Agung, saat ia menyampaikan beda pendapat (dissenting opinion) terhadap putusan kasasi Akbar Tandjung dalam kasus penyelewengan dana Bulog. Empat hakim lain menyatakan, Akbar tidak bersalah, namun Arman "kekeuh" bahwa mantan Menteri Sekretaris Negara era Presiden BJ Habibie, dan mantan Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar) itu bersalah. Sikap itu tidak hanya mendapat simpati luas dari masyarakat publik akibat pembebasan Akbar pada 12 Februari 2004. Ia bahkan dianugerahi "Baharuddin Lopa Award" oleh sejumlah elemen mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Sebelum menjadi Hakim Agung pada 1999, Arman berkecimpung sebagai pengacara dan notaris. Bersama Adnan Buyung Nasution, dia membentuk LBH. Ia pernah menduduki posisi Direktur LBH Jakarta dan hingga kini menjadi Sekretaris Dewan Penyantun Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Hingga acara serah terima jabatan (sertijab) Jaksa Agung, Arman masih bungkam soal "tawaran pos baru" dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepadanya, di mana publik menebak-nebak pos baru itu posisi duta besar atau pos di bidang penegakan hukum terkait "track record"-nya di dunia hukum. Setiap kali didesak oleh wartawan, Arman hanya mengatakan, Presiden menilai dia sebagai orang yang memiliki integritas dan meminta dia tetap membantu dalam satu pos lain. "Saya tidak bisa bilang. Tunggu sajalah," kata dia. Namun, tampaknya ia tidak ingin begitu saja menghapus jejaknya di Kejaksaan Agung yang identik dengan Gedung Bundar, tempat pemeriksaan koruptor. Mengulik kisah seorang birokrat di Amerika Serikat (AS), yang setelah menjabat 1.000 hari di Gedung Putih, lalu membuat memoar setelah lengser. Memoar tersebut berjudul "A thousand days at the White House". "Mudah-mudahan saya sempat membuat memoar 921 hari di Gedung Bundar," kata Arman yang mengabdi di Kejaksaan Agung sejak 20 Oktober 2004. Arman pun kembali bergabung dengan Civil Society, dan acara penerimaannya dilangsungkan di Jakarta, pada Jumat, 11 Mei 2007. Kepada Hendarman, Arman memberi sejumlah Pekerjaab Rumah (PR), yaitu penuntasan kasus pembunuhan Munir, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus dugaan korupsi Presiden RI periode 1966-1998, HM Soeharto. Ia juga berjanji tetap "mengawasi" Hendarman, dan meminta hak prerogatif untuk bisa menghubungi mantan tangan kanannya itu setiap saat. "Saya minta hak itu supaya saya sebagai mantan Jaksa Agung bisa mengingatkan beliau," demikian penegasan Arman. (*)

Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007