Jakarta (ANTARA News) - Dakwaan dugaan korupsi pengadaan KTP Elektronik mengungkapkan peran Menteri Dalam Negeri 2009-2014 Gamawan Fauzi baik dalam proses penanggaran maupun pengadaan pekerjaan senilai total Rp5,9 triliun tersebut.

"Pada November 2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependukan) NIK yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari APBN murni. Usulan itu lalu dibahas dalam rapat kerja dan rapat dengar pendapat (RDP) antara Kemendagri Komisi II DPR," kata jaksa penutut umum KPK Eva Yustisiana di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis.

Dalam perkara ini, Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Pejabat Pembuat Komitmen pada Dukcapil Kemendagri Sugiharto didakwa bersama-sama Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar, Andi Agustinus alias Andi Narogong selaku penyedia barang/jasa pada Kemendagri, Isnu Edhi Wijaya selaku Ketua Konsorsium Percetakan Negara RI (PNRI), Diah Anggraini selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kemendagri dan Drajat Wisnu Setyawan selaku Ketua pantia pengadaan didakwa melakukan korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektornik (KTP-E) 2011-2012.

Selanjutnya, Mei 2010 di ruang kerja Komisi II DPR sebelum RDP, Irman bertemu dengan Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, M Nazaruddin, Andi Agustinus dan sejumlah anggota Komisi II DPR saat itu Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Taufik Efendi, Teguh Djuwarno, Ignatius Mulyono, Mustoko Weni dan Arief Wibowo untuk membahas program KTP-E sebagai program prioritas utama yang dibiayai menggunakan APBN murni secara "multiyears".

Pertemuan juga menyepakati Andi Agustinus yang akan mengerjakan proyek KTP-E karena sudah terbiasa di Kemendagri dan "familiar". Mustoko Weni selanjutnya memberi garansi Andi akan memberikan "fee" kepada anggota DPR dan beberapa pejabat di Kemendagri, Andi pun membenarkannya.

Gamawan Fauzi selanjutnya pada 21 Desember 2010 mengirimkan surat ke Menteri Keuangan Agus Martowardojo untuk minta izin agar pengadaan KTP-E menggunakan kontrak tahun jamak, permohonan ini adalah permohonan kedua karena yang pertama ditolak.

Untuk mengantisipasi penolakan serupa, Andi memberikan 1 juta dolar AS ke Diah untuk memperlancar pembahasan izin pelaksanaan kontrak tahun jamak.

Pada 21 Juni 2011, atas usulan Sugiharto, Gamawan Fauzi menetapkan Konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5,81 triliun yang dilanjutkan dengan penandatanganan kontrak.

Tapi sampai Maret 2012, konsorsium PNRI belum dapat menyelesaikan target pekerjaan sebanyak 65,34 juta keping blangko KTP-E senilai Rp1,045 triliun sehingga Gamawan meminta tambahan anggaran APBN-P 2012 pada 9 Maret 2012, namun akhirnya permintaan itu ditampung dalam APBN 2013 dengan nilai total mencapai Rp1,49 triliun.

Saat proses pengadaan KTP-E, pada Maret 2011, Sugiharto melalui Yosep Sumartono kembali menerima uang dari Andi Agustinus sejumlah 800 ribu dolar AS. Selain itu, Andi Agustinus juga memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui Afdal Noverman sejumlah 2 juta dolar AS agar pelelangan KTP-E tidak dibatalkan Gamawan.

"Untuk memperlancar proses penetapan pemenang lelang, pada pertengahan Juni 2011, Andi Agustinus kembali memberikan uang kepada Gamawan Fauzi melalui saudaranya yaitu Azmin Aulia sejumlah 2,5 juta dolar AS. Sehingga pada 21 Juni 2011, Gamawan Fauzi berdasarkan nota dinas ketua panitia pengadaan menetapkan konsorsium PNRI sebagai pemenang lelang dengan harga penawaran Rp5,84 triliun," tambah jaksa.

Pada 16 April 2012, Irman menerima uang dari Andi Agustinus sejumlah 700 ribu dolar AS yang diberikan ke Sugiharto sejumlah 100 ribu dolar AS, Diah Anggraini sejumlah 300 ribu dolar AS dan atas perintah Gamawan sejumlah Rp500 juta digunakan untuk membiayai rapat kerja dan seminar nasional asosiasi Pemerintah Desa seluruh Indenesia di Yogyakarta pada 24 Maret 2014, sisanya untuk Irman.

Sehingga Gamawan Fauzi menerima sejumlah 4,5 juta dolar AS dan Rp50 juta.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2017