Jakarta (ANTARA News) - Guinness World Records atau Rekor Dunia Guinness, dalam buku rekornya edisi 2008 akan memasukkan Indonesia sebagai negara dengan tingkat kehancuran hutan tercepat di dunia, kata Juru Kampanye Hutan Regional Greenpeace Asia Tenggara, Hapsoro. "Guinness, yang dianggap sebagai otoritas global pemecahan rekor, telah memberikan konfirmasi pada Greenpeace bahwa rekor yang patut disayangkan ini akan muncul dalam buku rekor dunia tahun 2008," katanya, di Jakarta, Kamis. Hapsoro mengungkapkan, tingkat laju deforestasi Indonesia adalah 1,8 juta hektar per tahun, yang merupakan rata-rata catatan laju pengrusakan hutan di tanah air antara tahun 2000 hingga 2005. Sedangkan pencantuman urutan rekor itu sendiri dihitung dari catatan 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia. Ia mengungkapkan, sebanyak 72 persen dari "intact forest" atau hutan asli Indonesia telah musnah dan setengah dari yang tersisa terancam keberadaannya antara lain oleh penerbangan komersil, kebakaran hutan, dan pemukaan hutan untuk kebun kelapa sawit. Mengenai hasil penebangan hutan dalam negeri, Hapsoro mengemukakan bahwa hal tersebut sebenarnya juga dimanfaatkan oleh negara lain yang pertumbuhan hutannya selalu bertambah setiap tahun. "Contohnya China yang memiliki laju pertumbuhan hutan sekitar 2 persen per tahun sementara laju kerusakan hutan Indonesia adalah sekitar 2 persen per tahun. Ini berarti bila hutan di China semakin baik, maka hutan di Indonesia semakin rusak," katanya dan menambahkan, negara selain China yang menggunakan hasil kayu Indonesia antara lain adalah Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Moratorium Untuk itu, Greenpeace menyerukan agar pemerintah Indonesia untuk menahan laju kehancuran dengan melakukan moratorium atau penghentian penebangan secara sementara. "Selama masa moratorium tersebut, harus dilakukan pengkajian ulang dan pengubahan arah kebijakan terkait dengan hutan yang masih tersisa di Indonesia," kata Juru Kampanye Solusi Kehutanan Asia Tenggara, Bustar Maitar. Menurut dia, selain mengecek status tata ruang hutan hingga ke lapangan, pemerintah perlu pula untuk mengecek status keanekaragaman hayati di dalam hutan dan menjelaskan sampai terperinci mengenai hal tersebut. Mengenai berapa lama jangka waktu dari moratorium, Bustar mengemukakan bahwa pihaknya tidak terlalu mempermasalahkan hal itu tetapi yang lebih penting adalah masa moratoritum benar-benar dimanfaatkan untuk perubahan yang signifikan ke arah yang lebih baik. Bustar juga mengatakan, program revitalisasi atau penanaman kembali yang dikeluarkan Departemen Kehutanan adalah bagus, tetapi diharapkan hal tersebut benar-benar terealisasikan secara nyata di masa mendatang. "Hutan yang ditanam harus hidup. Artinya, bila ditanam sekarang maka satu tahun lagi harus tetap berkembang. Jangan sampai kawasan yang telah ditanam menjadi rusak kembali karena kurang adanya perawatan," ujar dia.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007