Jakarta (ANTARA News) - Mantan Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Demokrat Khatibul Umam Wiranu menegaskan, tidak ada arahan dari pengusaha tertentu terkait pembahasan anggaran paket KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (E-KTP) pada 2011-2012.

"Saya menjawab dengan tegas, paling tidak saya tidak pernah mengetahui atau merasakan ada atensi dari pengusaha karena yang dibahas di komisi menyangkut substansi pentingnya E-KTP. Pemerintah mengajukan anggaran multiyears, kita menyetujui, selebihnya itu urusan pemerintah melakukan tender dan lain-lain," kata Khatibul seusai diperiksa di gedung KPK Jakarta, Jumat.

Dalam menjalankan tugas sebagai lembaga pengawas pemerintah dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri, Komisi II, menurut Khatibul, mendapatkan laporan dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri saat itu) Gamawan Fauzi bahwa proses pengadaan sudah berlangsung sesuai dengan aturan.

"Pak Mendagri mengatakan semuanya sudah memenuhi syarat, bahkan sudah berkonsultasi dengan lembaga yang memberikan adjustment proyek ini jalan terus atau tidak. Setahu saya itu penjelasan Mendagri seperti itu," tambah Khatibul yang saat ini duduk di Komisi VIII.

Komisi II pun tidak melakukan pengecekan silang kepada lembaga lain dalam pengadaan E-KTP.

"Kita percayakan pada pemerintah saat itu karena sudah menyatakan sudah selesai semuanya mulai dari yang teknis sampai substansi, jadi kita percaya saja, kalau yang tahu anggaran itu bengkak atau tidak itu kan Kemendagri dan sampai 2011, semua proses yang kita cek Komisi II pada kementerian tidak ada masalah," ungkap Khatibul.

Tidak adanya pengecekan silang itu termasuk saat KPK dan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) tidak memberikan rekomendasi untuk meneruskan proses pengadaan karena banyak data ganda.

"Ya ditanyakan (soal rekomendasi) katanya sudah selesai semua kita kan berdasarkan penjelasan Kemendagri baik Mendagri atau dirjennya, kita tidak boleh ikut-ikutan," tegas Khatibul.

Menurut Khatibul, pengadaan E-KTP disetujui Komisi II karena kepentingan yang mendesak dari E-KTP tersebut.

"Kepentingannya yang paling mendesak tentu adalah melakukan pendataan penduduk secara nasional itu pertama sehingga dari situ nanti akan bermanfaat untuk pemilu pilkada itu diambil dari data E-KTP," katanya.

"Kemudian untuk idealnya impiannya sebagai single identity number bukan hanya untuk pendataan penduduk tapi juga untuk alat transaksi bayar listrik, bayar pajak, perbankan dan seluruh hal yang terkait dengan elektronik sehingga bukan hanya catatan sipil kependudukan. Itulah makanya disepakati anggaran multiyears sampai Rp5,9 triliun," kata Khatibul.

Tersangka dalam kasus ini adalah mantan Dirjen Dukcapil Irman yang juga Kuasa Pengguna Anggaran proyek pengadaan E-KTP dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen proyek E-KTP Sugiharto.

Berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kerugian negara akibat kasus korupsi e-KTP itu adalah Rp2 triliun karena penggelembungan harga dari total nilai anggaran sebesar Rp6 triliun.

Irman dan Sugiharto disangkakan pasal ayat 1 atau pasal 3 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.

Irman diduga melakukan penggelembungan harga dalam perkara ini dengan kewenangan yang ia miliki sebagai Kuasa Pembuat Anggaran (KPA).

Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Nazaruddin melalui pengacaranya Elza Syarif pernah mengatakan bahwa proyek E-KTP dikendalikan Ketua Fraksi Partai Golkar DPR Setya Novanto, mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum yang dilaksanakan oleh Nazaruddin, staf dari PT Adhi Karya Adi Saptinus, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri dan Pejabat Pembuat Komitmen.

(D017/S023)

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016