...juga bisa mengganggu ketahanan pangan nasional dikarenakan membludaknya volume impor yang melemahkan tujuan swasembada pangan."
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Hermanto J. Siregar mengingatkan pentingnya bagi Indonesia untuk memiliki data pangan untuk impor agar kebijakan yang diambil tepat sasaran.

Di satu sisi Hermanto J. Siregar di Jakarta, Jumat, menyatakan sangat mengapresiasi upaya pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk melakukan deregulasi ekspor dan impor, namun akurasi data pangan harus diprioritaskan.

"Kalau datanya salah, kebijakannya juga menjadi salah," ujar Hermanto, menegaskan.

Hermanto yang juga Wakil Rektor IPB itu mengapresiasi laporan pengendalian impor di bidang hortikultura dan komoditas seperti beras, sepanjang laporan itu disertai dengan data yang akurat.

Ia mengingatkan, pemerintah harus berhati-hati dalam melakukan impor di bidang hortikultura dan komoditas pangan agar jangan sampai merugikan petani.

Untuk itu, Hermanto menyarankan agar Kemendag harus sering melakukan inspeksi mendadak dan mengambil sampling data secara random terkait jumlah serta kualitas data pangan yang diimpor.

Ia mendukung rencana Kemendag melakukan deregulasi di bidang ekspor dan impor.

Namun, untuk penghapusan kewajiban verifikasi surveyor (LS) untuk komoditas beras, baja dan migas, ia mengingatkan perlunya kehati-hatian sebelum kebijakan itu diambil.

"Jangan sampai deregulasi itu diartikan sebagai kebijakan yang membuka kebebasan atau mempermudah kegiatan impor," ucap Hermanto.

Ia menegaskan bahwa impor bukan sesuatu yang haram, namun prinsipnya harus mengutamakan produksi sendiri oleh karena itu upaya deregulasi harus mampu menjangkau kepentingan publik yang lebih luas.

"Maka perencanaan impor harus bagus. Laksanakan impor, simpan dulu di gudang Bulog. Nanti dilemparkan ke pasar pada saat panen kita belum datang-datang," tuturnya.

Terkait rencana penghapusan verifikasi survei data impor pangan, Hermanto menilai langkah itu berisiko, karena bisa mengakibatkan ketidaksesuaian data dan tidak adanya jaminan terhadap kualitas standar yang diharapkan dari impor.

Ia justru mengkhawatirkan jika deregulasi yang menghapus kewajiban verifikasi surveyor itu dilakukan hanya untuk memudahkan impor.

"Tentu ada kerugian untuk petani. Kalau tidak banyak produksi, tidak perlu impor, dan mempermudah impor," tambahnya.

Mengenai optimisme pemerintah yang tidak akan melakukan impor beras sepanjang 2017, Hermanto justru tidak yakin terhadap hal itu.

Menurut dia, Indonesia kemungkinan masih akan melakukan impor, minimal kurang lebih sama yang diimpor tahun ini.

Karena itu, menurut dia, survei tetap dibutuhkan, hanya sifatnya sampling saja, secara tidak terduga.

"Kalau sekarang kan menjadi syarat, jadi prosedurnya panjang. Kalau tidak dipersyaratkan, kan bisa cepat. Kapan saja Pemerintah bisa on the spot atau random. Jadi kalau ada yang mau curang-curang pasti mikir, nanti dirandom kena, intinya harus ada sidak," ujar Hermanto yang juga Guru Besar Ekonomi IPB itu.

Senada disampaikan Anggota Komisi VI DPR RI Dwie Aroem Hadiatie yang mengatakan, kebijakan deregulasi akan memangkas peraturan yang sudah ditetapkan dalam peraturan.

"Misalnya saja menyederhanakan perizinan. Yang dimana dalam setiap Permendag tertulis mengenai verifikasi surveyor. Namun mengapa hal ini dihapuskan," jelasnya.

Lebih lanjut ia mengatakan, verifikasi surveyor adalah kegiatan pemeriksaan teknis mengenai produk ekspor dan impor yang dilakukan oleh surveyor.

"Contohnya beras, harus diketahui jenis dan volume, nama, serta alamat eksportir. Impor juga wajib tahu mengenai nama dan masa berlaku serta semua ketentuan yang ada dalam Permendag Nomor 19 tahun 2014 mengenai beras."

Aroem mengingatkan Pemerintah, agar verifikasi surveyor jangan dihapuskan sebab hal itu akan memicu semakin banyaknya produk impor yang masuk tanpa identitas yang jelas.

"Selain itu, juga bisa mengganggu ketahanan pangan nasional dikarenakan membludaknya volume impor yang melemahkan tujuan swasembada pangan," imbuhnya.

Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016