Surabaya (ANTARA News) - Bos pabrik ekstasi di Jalan Golf, kompleks Graha Family blok M-35, Surabaya, Hanky Gunawan (37) alias Hanky, Selasa, akhirnya divonis 15 tahun penjara dan denda Rp500 juta dalam sidang pembacaan putusan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Vonis atau putusan yang dibacakan majelis hakim yang diketuai I Made Tjakra SH itu tampak lebih ringan dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yakni hukuman mati. Menanggapi vonis dari majelis hakim itu, JPU dan penasehat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir untuk menyampaikan tanggapannya dalam waktu tujuh hari. Dalam putusan itu, majelis hakim menilai, hanya dakwaan pertama dari lima dakwaan yang dituduhkan JPU tidak terpenuhi, karena unsur memproduksi dan/atau menggunakan (psikotropika) dalam proses produksi secara terorganisir itu tidak terbukti. "Karena terorganisir yang disebutkan dalam dakwaan pertama sesuai pasal 59 ayat (1) huruf b juncto pasal 59 (ayat 2) UU RI 5/1997 tentang Psikotropika juncto pasal 55 (ayat 1 ke-1) KUHP juncto pasal 64 KUHP itu bukan tertata atau teratur seperti halnya sebuah pabrik," tegasnya. Menurut majelis hakim, upaya memproduksi yang dilakukan terdakwa tidak tertata dan teratur (bukan pabrik), karena tidak ada benda atau mesin yang tak bergerak. "Yang dilakukan terdakwa hanya manual bersama terdakwa Suwarno (divonis enam tahun) dan Lingsodirejo (buron), bahkan apa yang dilakukan terdakwa juga tidak ada jaringan dengan bandar ekstasi di Jakarta, sebab bandar Jakarta yang disebut-sebut JPU juga tidak mengenal terdakwa," katanya. Namun, kata majelis hakim, empat dakwaan lainnya yang dituduhkan JPU dapat terpenuhi yakni dakwaan kedua (pasal 59 ayat 1 huruf b UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP), dakwaan ketiga (pasal 59 ayat 1 huruf b jo 69 UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP). Selain itu, dakwaan keempat (pasal 59 ayat 1 huruf c UU 5/1997 tentang psikotropika jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat 1 KUHP), dan dakwaan kelima (pasal 6 ayat 1 sub b UU 15/2002 tentang money laundring atau pencucian uang yang diubah dengan UU 25/2003). "Dakwaan kedua terpenuhi, karena terdakwa terbukti memproduksi atau menggunakan dalam proses produksi itu tidak melakukan sendirian," ucap majelis hakim. Untuk dakwaan ketiga, kata majelis hakim, tidak perlu dipertimbangkan lagi, karena dakwaan kedua sudah terpenuhi, sedangkan dakwaan keempat juga terpenuhi, karena terdakwa memproduksi melalui kerjasama dengan Lingsodirejo (rekan terdakwa/buron) dan Suwarno (pembantu terdakwa). "Dakwaan terakhir terkait money laundring juga terbukti karena ada proses transfer yang dilakukan terdakwa dan juga ada sejumlah barang bukti berupa rumah dan mobil yang patut diduga telah diperoleh dari hasil tindak pidana terdakwa," ungkap majelis hakim. Dalam putusan itu, majelis hakim menilai hal yang meringankan terdakwa hanya dua yakni sopan dalam persidangan dan terdakwa masih muda sehingga masih dapat memperbaiki diri untuk masa depannya. "Tapi, hal yang memberatkan terdakwa adalah memungkiri dakwaan atau tak mengakui perbuatannya, perbuatannya tercela dan merusak generasi muda, musuh negara dan masyarakat, serta pernah dihukum (dihukum di Belanda dalam kasus ekstasi)," tegas majelis hakim. Menanggapi vonis dari majelis hakim itu, tim JPU dan penasehat hukum terdakwa menyatakan pikir-pikir untuk menyampaikan tanggapannya dalam waktu tujuh hari. Hanky dibekuk Mabes Polri setelah Mabes Polri menangkap Awe di Jl Taman Anggrek Jakarta pada 27 April 2006 dengan 39.000 butir ekstasi. Awe mengaku, dipasok Hanky yang beralamat di Jalan Kombes M Duriyat 4 Surabaya melalui Suwarno (warga Lengkong, Nganjuk, Jatim). Kemudian polisi menelusuri dan akhirnya diketahui asal barang haram itu dari rumah prokdusi di Graha Family blok M-35, Surabaya. Bisnis itu dijalankan Hanky bersama Lingsodirejo (warga Villa Valencia B-7/28 Surabaya) dan Brian (ahli kimia asal Inggris yang hingga kini masih buron). (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007