Jakarta (ANTARA News) - Kegagalan kunjungan Komisi II DPR RI mencari data dan informasi terkait kekerasan di institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) tidak menyusutkan tekad kalangan DPR untuk mendorong pengungkapan kasus-kasus kekerasan di lembaga pendidikan kedinasan di bawah Depdagri tersebut. "Bahkan, jajaran penegak hukum seperti Polri, kejaksaan serta Badan Intelijen Negara (BIN) harus mengusut tuntas tindakan kekerasan di IPDN. Bila perlu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga dilibatkan untuk mengaudit dana operasional IPDN," kata anggota Komisi II DPR, Anhar Nasution SE, di Jakarta, Sabtu. Dia menilai, kekerasan di IPDN sudah merupakan kejadian luar biasa dan sistematis. Bahkan, Komisi II yang berusaha mendorong penyelesaian pengungkapan kasus kekerasan di IPDN pun harus berhadapan dengan Gerakan Tutup Mulut (GTM)t yang dilakukan seluruh jajaran di IPDN. "Saya menilai ada kejadian luar biasa yang terjadi secara sistematis di IPDN, karena itu saya mendesak jajaran penegak hukum tidak ragu dan terus mengungkap kasus-kasus kekerasan yang sudah berlangsung lama di IPDN," kata Anhar. Menurut anggota dewan dari Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) tersebut, pembicaraan di Komisi II DPR dalam suatu pembicaraan juga mendorong hal serupa. Kemungkinan dalam beberapa hari mendatang, Komisi II sebagai mitra kerja Depdagri bakal mengeluarkan keputusan menyangkut kasus IPDN. Selama ini, menurut dia, perguruan pencetak pamong praja tersebut terkesan sebagai perguruan tinggi eksklusif yang menyebabkan banyak orang tidak tahu apa sebenarnya yang terjadi di IPDN. Apalagi, kampus IPDN jauh dari keramaian. Dengan begitu, kata Anhar, apa saja bisa terjadi di IPDN, termasuk yang tidak pernah terbayangkan orang selama ini, seperti narkoba dan seks bebas. "Dengan kondisi kampus IPDN seperti itu, maka peluang untuk berbuat demikian terbuka lebar," katanya. Contohnya, sudah berapa praja yang menghembuskan nafas terakhirnya. Berapa banyaknya pula mereka yang tersiksa fisik atau raganya selama menuntut ilmu di IPDN. Jumlah yang meninggal karena kekerasan saja sudah beberapa orang, namun hal itu tidak terungkap. "Berita di salah satu media cetak menyebutkan bahwa lebih dari 80 persen lulusan perguruan tinggi ini mengalami retak dada. Bahkan, ada praja wanita yang meninggal setelah menggugurkan kandungan," kata Anhar. Kondisi kampus yang demikian, dinilainya, juga terbuka peluang bagi oknum praja maupun pendidik di IPDN menkonsumsi narkoba. Karena itu, menurut dia, perlu dilakukan tes urin terhadap siswa maupun para pengajar IPDN lantaran bukan tidak mungkin ada pecandu narkotika dan obat-obat terlarang. "Suasananya memang memungkinkan untuk itu," kata Anhar. Pemeriksaan menyeluruh mulai dari praja sampai pimpinan perlu dilakukan di IPDN, dan jangan hanya mengusut kasus meninggalnya Cliff Muntu. Anhar juga berharap, BIN turun tangan karena bukan tidak mungkin pula kejadian ini adalah skenario pihak tertentu untuk menghancurkan Indonesia. Apalagi, mereka yang menuntut ilmu di IPDN bukan orang sembarangan. "Mereka calon pemimpin. Kalau pemimpin begitu, bagaimana nanti rakyat yang dipimpinnya. Ini `kan celaka dan berbahaya buat kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Karena itu, BIN harus turun tangan agar apa yang tidak diinginkan anak bangsa nantinya tidak menjadi kenyataan. Kita harus waspada," katanya. Selain itu, BPK juga harus mengaudit dana IPDN untuk mengetahui pemanfaatan anggaran yang diambil dari uang rakyat tersebut. Selama ini dana yang diberikan kepada IPDN cukup besar. Bahkan untuk tahun anggaran 2007, Komisi II DPR menyetujui anggaran IPDN Rp151 miliar. Dana ini cukup besar kalau dilihat dari anggaran yang diterima Depdiknas. Menyinggung banyaknya desakan IPDN dibubarkan, Anhar juga menyatakan kesetujuannya. "Saya sependapat dengan mereka. Mahasiswa yang ada di IPDN dikembalikan ke daerah dan melanjutkan kuliah di perguruan tinggi setempat. Ini bukan hal sulit. Bila perlu masing-masing perguruan tinggi negeri di daerah menambah jurusan, seperti yang diajarkan di IPDN. Ini tidak menghabiskan dana," demikian Anhar. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007