"Padi saya belum sempat dijemur ...karena kemarin saya baru dari Sumatera."

Kakek berusia sekitar 70-an tahun itu bergumam kepada petugas Panitia Penyelenggara Ibadah Haji (PPIH) yang memintanya beristirahat dahulu di lobi hotel Al Tayseer Towers Hotel, Jumat (2/9) petang.

Masih mengenakan pakaian ihram lengkap, jamaah yang berangkat melalui embarkasi Jakarta-Bekasi kelompok terbang (kloter) 61 itu sepintas lalu terlihat sehat kecuali beberapa rona merah di tubuhnya, yang tampak bagai jejak sengatan mentari.

Ditemukan oleh petugas terpisah dari rombongannya di kawasan Masjidil Haram, kakek yang mengaku bernama Suhendi, itu tidak tampak lemas kelelahan sebagaimana rekan-rekannya yang lain.

Namun, cara dia berbicara menunjukkan salah satu ciri-ciri orang yang mengalami disorientasi atau mengalami demensia. Ia dengan lancar bercerita mengenai pengalamannya bertempur melawan tentara Jepang namun sama sekali tidak menyadari bahwa dia tengah berada di Mekkah untuk melaksanakan ibadah haji.

Ingatannya selalu membawanya ke Pangandaran, kampungnya, tempat dia meninggalkan hasil panennya yang belum dijemur atau puluhan ternaknya.

Tetapi berbeda dengan beberapa jamaah yang terkadang menjadi agresif ketika terpisah dari rombongannya, kakek Suhendi terlihat tenang.

Dia menurut ketika diminta duduk menanti petugas mencari lokasi kamar ataupun rekan satu rombongannya.

Diam tidak banyak protes. Si kakek yang baru tiba pada Jumat dini hari di kota kelahiran Nabi Muhammad SAW itu pun tak banyak dapat bertutur ketika ditanya oleh petugas apakah telah melaksanakan ibadah umroh wajib.

Yang jelas ketika ditemukan hampir sekitar pukul 15.00 waktu Arab Saudi, kakek Suhendi dipastikan telah berada di kompleks Masjidil Haram selama sekitar 10 jam dan ia belum beristirahat sama sekali semenjak mendarat di Jeddah setelah terbang sekitar sembilan jam dari tanah air.

Suhendi tidak sendiri. Pada Jumat itu kompleks Masjidil Haram memang berubah menjadi lautan manusia. Jamaah dari berbagai bangsa, termasuk Indonesia, berkumpul untuk melaksanakan shalat Jumat memburu keutamaan ibadah yang dijanjikan.

Akibatnya bisa dipastikan. Bagi jamaah Indonesia yang tidak familiar dengan suasana di kompleks Masjid Suci yang luasnya mencapai 356.800 meter persegi dengan puluhan pintu keluar yang hampir identik tersesat adalah sebuah keniscayaan.

Ratusan jamaah dilaporkan salah jalan pada siang itu, banyak di antaranya yang "tumbang" karena kepanasan dan kelelahan karena terjemur sinar matahari.

Dengan hanya beranggotakan kurang dari 25 orang yang bertugas siang itu, petugas pengamanan Sektor Khusus dan Media Center Haji sudah pasti sangat kualahan.

Seorang petugas Media Center Haji yang turut membantu mengaku sekali jalan ia bisa membawa 11 jamaah sekaligus kembali ke pemondokannya.

Jika jamaah masih mampu berjalan kaki menuju terminal Bus Shalawat yang menuju ke arah pemondokannya maka masing-masing petugas dapat mengumpulkan beberapa jamaah sekaligus.

Namun jika jamaah tersebut mengalami masalah kesehatan, terpaksa petugas harus menggendong mereka ke pos kesehatan terdekat yaitu di Sektor Khusus yang terletak di Hotel Hilton tepat di seberang Masjidil Haram atau di Terminal Syib Amir yang terletak di sisi Masjidil Haram yang menghadap ke Pintu Marwa karena tidak semua petugas dilengkapi dgn kursi roda.

Tidak sedikit jamaah lanjut usia yang terpisah dari rombongannya ketika ditemukan di salah satu sudut masjid itu sudah dalam kondisi sangat lemas sehingga tidak lagi mampu berdiri apalagi berjalan.

Seorang petugas siang itu tampak kerepotan menggendong seorang kakek yang bahkan sudah tidak mampu lagi untuk berpegangan dibahu petugas itu sehingga ia beberapa kali melorot.

Minim Petunjuk Arah
Berbeda dengan di sejumlah area tempat berkumpulnya ribuan orang, di mana panitia selalu memberikan banyak penunjuk arah.

Di kompleks Masjidil Haram hampir tidak ditemukan penunjuk arah sama sekali, yang ada adalah papan-papan nama lokasi. Sehingga wajar jika misalnya ada jamaah yang salah keluar pintu, dia tidak akan tahu harus berjalan lurus atau belok kanan atau kiri untuk menemukan pintu yang ia tuju.

Akibatnya banyak jamaah yang sangat kelelahan karena berputar-putar di dalam masjid yang penuh dengan cabang itu.

"Masuk melalui pintu 79...tapi ketika saya cari pintu itu tidak, sudah mondar-mandir di sini, angkanya kecil semua," kata nenek Sani (67), jamaah yang berangkat dari embarkasi Surabaya.

Wajar jika si nenek tidak dapat menemukan Bab Ali Fadh karena ia mencari di kawasan Bukit Safa dan Marwa yang terletak di jauh di seberang Bab Ali Fadh.

Seorang jamaah asal Kudus yang tinggal di kawasan Mahbas Jin bahkan masih tersesat saat menjalankan umroh sunnah yang artinya ini bukan pertama kali melakukan ibadah di Masjidil Haram.

Ketika ditemukan berkeliaran di terminal Jiad ia tampak menggenggam kartu bus rute empat yang harusnya berada di terminal Bab Ali. Dan dari terminal Jiad sama sekali tidak ada petunjuk arah yang harus ditempuh si jamaah untuk mencapai terminal Syib Amir.

Namun dia beruntung karena masih tahu pemondokan dan rute bus yang harus ia gunakan. Puluhan jamaah lainnya sama sekali tidak mengingat nama pemondokan atau rute bus yang harus ditempuh, hal itu diperparah dengan mereka tidak membawa kartu identitas sehingga petugas butuh waktu untuk melakukan pengecekan terlebih dahulu.

Penumpukan jamaah di terminal Syib Amir yang tanpa pelindung dalam kondisi terik matahari mencapai suhu 42 derajat Celcius membuat para petugas terminal meminta seluruh jamaah yang tidak bisa mengingat nama pemondokannya naik ke Bus Shalawat nomor tujuh yang akan membawa mereka ke Kantor Daerah Kerja Mekkah.

Memproses jamaah yang tersesat dan tidak mengetahui lokasi pemondokannya di bawah terik matahari akan berisiko lebih banyak jamaah yang tumbang karena dehidrasi dan kelelahan.

Akibatnya hingga Jumat sore, puluhan jamaah masih antre untuk diantar ke pemondokannya masing-masing oleh para petugas di kantor.

"Hotel saya di tepi jalan. Ada tulisannya Balikpapan," kata seorang kakek berulang kali setiap ditanya petugas.

Jangankan nama hotelnya kakek yang berusia lebih kurang 70 tahun itu pun tak ingat lagi kapan ia tiba di Mekkah. Untungnya di lengannya yang keriput masih tersemat gelang identitas yang menunjukkan bahwa ia diberangkatkan melalui kelompok terbang 19 embarkasi Balikpapan.

Demensia dan Orientasi
Demensia merupakan istilah yang digunakan untuk menjelaskan penurunan fungsional yang seringkali disebabkan oleh kelainan yang terjadi pada otak yang ditandai dengan gejala-gejala yang mana mengakibatkan perubahan cara berpikir dan berinteraksi dengan orang lain.

Sering kali, demensia memengaruhi memori jangka pendek, pikiran, kemampuan berbicara dan kemampuan motorik.

Menurut dr Ika Nurfarida yang bertanggung jawab pada penanganan gangguan jiwa Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) Mekkah, demensia dapat juga muncul karena dehidrasi parah.

"Dehidrasi dapat memicu disorientasi waktu dan ruang. Oleh karena itu penanganan pertama kami adalah memberi minum pasien dan menurunkan suhu tubuh," katanya.

Peningkatan suhu tubuh menurut dia juga dapat memicu peningkatan tekanan darah pada jamaah lanjut usia.

Menurut dia, jamaah demensia biasanya telah memiliki faktor gejala di tanah air tapi kemudian muncul atau diperparah karena faktor stress dan kelelahan.

Namun hal itu tidak terjadi pada Andi Bahar (60). Pria paruh baya asal Palembang yang ditemui sedang duduk sendirian di salah satu sudut pintu Marwa Masjidil Haram itu tampak nyaman menanti datangnya shalat Magrib dan Isya. Tidak ada rona gelisah atau kebingungan di wajahnya. Ia bahkan tampak tertib mematuhi anjuran petugas untuk selalu memakai masker.

Andi yang tinggal di Hotel Al Faisal (710), kawasan Raudhah itu mengaku punya tips agar tidak tersesat di Masjidil Haram.

"Yang saya lakukan saat pertama kali datang ke sini adalah, pergi kelilng, melihat situasi dan kondisi, jalan di mana dan pintu di mana. Itu yang perlu kita ketahui terlebih dahulu sehingga ketika lepas dari teman kita tahu jalan. Tidak terlalu bingung," katanya.

Andi menyadari kondisi fisiknya sudah tidak memungkinkan baginya untuk selalu seiring dengan rombongannya apalagi jika kondisi semakin padat.

Dengan memahami situasi dan kondisi Masjidil Haram, ia mengaku lebih tenang saat ibadah, tidak perlu harus selalu bergegas mengejar rombongannya. Namun sayangnya tidak semua jamaah mandiri seperti Andi Bahar yang sangat menyadari kondisi fisiknya sehingga melakukan antisipasi khusus. Banyak jamaah datang dengan gelang merah yang mengindikasikan resiko tinggi penyakit bawaan. Banyak juga yang diburu target untuk untuk mengejar keutamaan ibadah. Kelelahan dan suhu tinggi pun menjadi perpaduan yang berbahaya untuk munculnya demensia.

Oleh Gusti NC Aryani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016