Jakarta (ANTARA News) - Sikap Indonesia, yang ikut mensahkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang tambahan sanksi bagi Iran dalam masalah nuklir, merupakan sikap realistik. "Kalau memilih berseberangan dengan negara kuat, posisi kita justru lebih sulit untuk menyelesaikan masalah itu. Justru dengan begini, kita mendapat kepercayaan dari negara kuat sehingga dapat membujuk mereka," kata pengamat internasional dan guru besar FISIP-UI Bachtiar Aly ketika dihubungi di Jakarta hari Senin. "Inilah diplomasi, `win-win solution` (sama-sama untung). Mundur selangkah, tapi akhirnya dapat maju tiga langkah," katanya. Menurut Bachtiar, politik bebas aktif harus diartikan sebagai kemampuan berdiplomasi dan langkah Indonesia tersebut sebenarnya memberi ruang, sehingga dapat dilakukan pendekatan kepada Iran agar tidak ada sanksi lain. "Kita tidak begitu saja mendukung resolusi itu. Bersama Afrika Selatan dan Qatar, kita merevisi rancangan resolusi itu. Ini adalah optimal dan berarti tidak tunduk pada negara kuat," katanya. Lebih lanjut, ia mengemukakan, jika Indonesia memilih menolak resolusi itu, justru secara gampang dianggap negara lain sebagai ada "sesuatu" antara Indonesia dan Iran. Bachtiar mengimbau semua pihak, termasuk masyarakat Indonesia, bersikap proporsional atas langkah perwakilan Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Kita pada dasawarsa 1960-an pernah seperti Iran, dengan istilah, seperti, `Amerika kita setrika`. Semangat patriotisme berlebihan, sehingga tidak peduli dunia. Itu sedang terjadi di Iran, tapi bagi Indonesia, kita tidak mungkin melawan arus dunia. Jadi, kita kompromi. Lagipula, kita harus ingat, pertimbangan utama harus tetap kepentingan nasional Indonesia," katanya. Bachtiar mengemukakan, Iran akan bersikap proporsional terhadap Indonesia jika negara tersebut sejak awal mengikuti upaya Indonesia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. "Iran tahu kita punya potensi besar dan aspirasi itu `ditangkap` Iran, misalnya, dengan kunjungan Presiden Ahmadinejad beberapa waktu lalu. Indonesia telah melakukan tanggungjawabnya dengan memperbaiki rancangan itu," katanya. Pada Sabtu, lima belas anggota Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, termasuk Indonesia, mensahkan resolusi berisi penambahan sanksi bagi Iran setelah Teheran menolak menghentikan pengayaan uraniumnya. Resolusi nomor 1747 itu, yang disiapkan bersama oleh Inggris, Prancis dan Jerman, disahkan dalam sidang Dewan Keamanan di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York. Resolusi itu menjatuhkan sanksi lebih berat kepada Iran, antara lain dengan melarang ekspor senjata serta membekukan aset 28 orang dan organisasi terkait dengan program nuklir dan peluru kendali Iran. Sementara itu, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda kepada wartawan di Jakarta hari Senin mengemukakan, Indonesia mengharapkan pemerintah Iran dapat memanfaatkan waktu, yang diberikan dalam resolusi itu, untuk mencari penyelesaian secara damai bagi masalah nuklirnya. Menurut Hassan, walaupun Iran diminta mematuhi resolusi tersebut dalam waktu 60 hari, resolusi 1747 sebetulnya memberikan prinsip solusi damai daripada sekadar sanksi tambahan. "Resolusi 1747 harus dilihat sebagai kelanjutan resolusi 1737 dan resolusi yang baru disahkan sesungguhnya tidak memuat perubahan mendasar, kecuali tiga hal, yang memuat embargo senjata, larangan pemberian komitmen baru tentang hibah dan bantuan keuangan kepada Iran," katanya. Dengan kata lain, lanjut Hassan, ada unsur sanksi, namun bersifat terbatas, karena merupakan bagian dari upaya persuasif bagi Iran dan membuka peluang bagi solusi damai. Hassan mengemukakan, Pemerintah Indonesia tetap teguh dengan pendapatnya bahwa Iran, sebagaimana negara lain, memiliki hak mengembangkan nuklir untuk tujuan damai sebagaimana dijamin dalam resolusi 1737 --23 Desember 2006-- dan 1747 --24 Maret 2007-- tentang isu nuklir Iran. "Tapi, sebagai sahabat, Indonesia juga mengatakan pada Iran agar Iran bekerjasama dengan IAEA (badan tenaga atom dunia) dan menerapkan ketentuan keselamatan dan standar, yang diatur dan diawasi IAEA," katanya. Dikatakannya, Direktur Jenderal IAEA di Wina melaporkan bahwa IAEA belum bisa menarik kesimpulan tentang maksud damai dari nuklir Iran dan Iran masih melanjutkan pengayaan nuklir pascaresolusi 1737. "Dengan kata lain, resolusi 1737 memang belum dipatuhi Iran," katanya.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007