Kami ingin mempelajari lagi (kasus HP). Kami minta gelar perkara. Kami akan tentukan sikap terhadap kasus ini mudah-mudahan setelah Lebaran."
Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi akan melakukan gelar perkara dalam dugaan kasus korupsi yang melibatkan mantan Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Hadi Poernomo pasca-Lebaran 2016 sehubungan dengan Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali terhadap kasus tersebut.

Gelar perkara itu terkait dengan kasus dugaan korupsi penerimaan seluruh permohonan keberatan wajib pajak atas surat ketetapan pajak nihil (SKPN) pajak penghasilan badan PT BCA, Tbk. pada tahun 1999.

"Kami ingin mempelajari lagi (kasus HP). Kami minta gelar perkara. Kami akan tentukan sikap terhadap kasus ini mudah-mudahan setelah Lebaran," kata Wakil Ketua KPK Laode M. Syarif di Gedung KPK RI, Jakarta, Jumat.

Pada tanggal 16 Juni 2016, majelis hakim agung yang diketuai Salman Luthan dengan anggota Sri Wahyuni dan M.S. Lumme menolak PK KPK terkait dengan putusan praperadilan hakim tunggal Haswandi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang memenangi gugatan praperadilan Hadi Poernomo dan menyatakan tidak sah surat perintah penyidikan KPK yang menetapkan Hadi sebagai tersangka.

Alasannya adalah karena ada putusan MK yang menyatakan jaksa tidak boleh mengajukan PK.

Pada tanggal 12 Mei 2016, lewat uji materi Pasal 263 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang dimohonkan istri terpidana kasus cessie (hak tagih) Bank Bali Djoko S. Tjandra, Anna Boentaran; MK menyatakan jaksa penuntut umum tidak bisa mengajukan permohonan PK, kecuali terpidana atau ahli warisnya.

"Kami sebelum menetapkan lagi (perkara) itu kan harus kami pelajari terlebih dahulu, apa sih sisi kelemahannya? Kenapa sampai kalah di praperadilan? Jadi, kami tidak mau buru-buru, tidak akan lari kasusnya. Akan tetapi, untuk kasus ini, saya pikir setelah Lebaran kami sudah bisa menentukan sikap," tegas Syarif.

Salah satu yang akan dievaluasi oleh KPK adalah mengenai keabsahan penyelidik dan penyidik dalam kasus tersebut.

"(Penyidik dan penyelidik) itu salah satu. Makanya, kami mau suruh membeberkan apa-apa saja pendapat pengadilan. Oleh karena itu, kami tidak mau lagi daripada terburu-buru menetapkan tersangka, kami tidak mau masuk lubang dua kali," kata Syarif.

Pada tanggal 26 Mei 2015, hakim Haswadi yang juga Ketua PN Jakarta Selatan menjelaskan bahwa penyelidik dan penyidik KPK sesuai dengan Pasal 43 dan Pasal 46 UU KPK haruslah berstatus sebagai penyelidik atau penyidik di instansi sebelumnya, baik itu Polri maupun kejaksaan.

Penyelidik dalam kasus Hadi, yaitu Dadi Mulyadi dan dua penyelidik lainnya, bukan merupakan penyelidik sebelum diangkat menjadi penyelidik KPK.

Dalam hal ini, KPK menduga Hadi Poernomo menyalahgunakan kewenangan dengan bersembunyi di balik kebijakan pajak saat menjabat sebagai Dirjen Pajak 2002 sampai dengan 2004.

Penyalahgunaan itu terkait adanya surat keberatan pajak penghasilan 1999 s.d. 2003 itu diajukan BCA pada tanggal 17 Juli 2003 terkait dengan nonperformance loan (NPL) atau kredit bermasalah senilai Rp5,7 triliun kepada Direktur PPH Ditjen Pajak.

Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPH pada tanggal 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.

Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, yaitu pada tanggal 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku dirjen pajak, memerintahkan agar Direktur PPH mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak, diganti menjadi menerima seluruh keberatan.

Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima seluruh keberatan wajib pajak sehingga tidak ada cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016