Jakarta (ANTARA News) - Investigative reporting atau laporan investigasi bagi wartawan sangat menantang, karena banyak rintangan untuk menghasilkannya. Bahkan, wartawan membuat dan menyiarkan laporan investigasi dapat mempertaruhkan pekerjaan, gaji, keselamatan dan bahkan nyawanya sekalipun.

Oleh karena itu, ada yang mengatakan, menyiarkan laporan invetigasti sama dengan "uji nyali" bagi wartawan yang bersangkutan, redaktur, pemimpin redaksi, pimpinan dan pemilik media bersangkutan. Diperlukan keberanian!

Laporan investigasi ditakuti oleh banyak penguasa (pejabat pemerintah) yang korup, politisi dan pengusaha yang suka main "kong kalingkong" serta "tomas" (tokoh masyarakat) yang tidak bersih akhlak dan perilakunya. Eloknya, masih ada saja wartawan yang senang melakukan "uji nyali".

Bukti terakhir adalah "Panama Papers". Sebelum itu ada penyiaran "Wikileaks" dan "Skandal Watergate".

Sejumlah wartawan tertarik untuk melakukan laporan investigasi berkat dorongan hati nurani yang terusik untuk mengungkapkan kebenaran dan menegakkan keadilan bagi orang banyak. Berkat batin yang resah, menggugah dan menggugat. "A questioning mind".

Menyiarkan laporan investigasi di sebuah negara, di mana korupsi marak, tumbuh subur hampir di semua lini kehidupan dari atas sampai bawah, seperti Indonesia, tidaklah mudah.

Apalagi, meminjam istilah Noam Chomsky, peneliti Amerika Serikat (AS), telah ditengarai munculnya media conspiracy (konspirasi media) di banyak negara.

Perselingkuhan (konspirasi) itu terjadi antara penguasa, pengusaha dan pemilik media massa. Di banyak negara, ketiga pelaku itu dapat menjelma dalam diri satu orang: ya penguasa politik (pejabat pemerintah dan pimpinan partai politik), ya pengusaha dan sekaligus juga pemilik media massa.

Pelaku selingkuh ini menguasai bukan hanya media konvensional (cetak dan elektronik), tapi juga media sosial medsos sebagai "bandar" atau penyandang dana yang mengarahkan dan menggerakkan pemberitaan dengan tujuan tertentu yang menguntungkan dirinya, kelompoknya dan tokoh atau pihak yang didukungnya.

Alhamdulillah, masih ada orang-orang, terutama wartawan, yang jujur dan terusik, bangkit serta mau bergerak untuk mengungkapkan kebenaran demi tegaknya keadilan. Di zaman korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan sudah dianggap barang lumrah, wartawan investigasi pantas digelari folks heroes atau para pahlawan rakyat, seperti yang saya baca dalam sebuah buku di luar negeri dulu.

Jika pemerintah dan bangsa Indonesia serius memberantas korupsi, penyalahgunaan kekuasaan dan berbagai bentuk penyelewengan lainnya yang merugikan publik, laporan investigasi perlu digalakkan.

Jika sejumlah media arus utama (main stream media) ditengarai sudah "terkooptasi", maka media sosial (medsos) bisa menjadi sarana alternatif. Memang, para penyedia informasi (content providers) medsos dan publik perlu ditingkatkan kemampuannya untuk memilih dan memilah gambar, tulisan dan suara yang layak untuk diunggah dan diunduh melalui program media literacy (melek media).

Ini perlu dilakukan oleh para pegiat anti korupsi secara massal dan masif.

Kucing kawin

Wartawan investigasi dalam melakukan tugasnya bekerja bak petugas intelijen. Kalau perlu ia melakukan penyamaran, tapi dengan resiko "digebukin" atau "dihabisin" kalau ketahuan.

Salah satu prasyarat melakukan investigasi adalah kecermatan atau akurasi dan kecepatan dalam mengambil kesimpulan yang tepat dalam waktu singkat. Secara inklusif, prasyarat itu mengandung unsur-unsur kesehatan dan kecerdasan.

Sebagai latihan awal, hal itu bisa dilakukan dengan mengamati secara rinci dalam kurun waktu cukup lama tentang hal-hal kecil dan rutin yang terjadi di sekitar kita. Misalnya, mengamati dan membuat laporan investagi tentang kucing kawin.

Perlu kecepatan dan kecermatan, karena kucing adalah binatang yang cepat larinya dan pandai bersembunyi. Oleh karena itu, ada istilah main "kucing-kucingan" antara polisi dengan bandit.

Musim kucing kawin biasanya ditandai dengan kegaduhan akibat suara "ngeong, ngeong" bersahut-sahutan. Suara kucing terdengar menjadi lebih besar, tenor atau bariton yang dalam bahasa Jawa disebut "ngagor-agori", tanda sedang birahi.

Syahdan, masuklah seekor kucing betina warna putih ke dalam kolong mobil sambil bersuara "ngeong-ngeong", terdengar merdu merayu seperti memanggil. Tak lama kemudian seekor kucing jantan berwarna hitam datang, menyusul masuk kolong mobil. Lalu terdengar suara "ngeong-ngeong" bercampur desis. Si betina mengambil posisi atau "mapan" duduk setengah jongkok.

Suara "ngeong-ngeong" bercampur desis terus berlanjut. Si hitam mendekati si putih, menempatkan diri di belakang si putih seperti minta digendong. Bunyi "ngeong-ngeong" bercampur desis terdengar melemah seperti bisik-bisik.

Tiba-tiba, terdengar suara meninggi seperti menjerit panjang: "Ngeoooong....". Dan, adegan pun telah selesai!

Si hitam keluar dari kolong mobil. Si betina masih di tempatnya. Sekitar lima menit kemudian, si hitam masuk kolong lagi dan adegan pun berulang. Setelah sebulan, si putih tampak bunting.

Kesukaannya tidur-tiduran, bermalas-malasan seperti seorang ibu hamil muda, sedang "ngidam". Selama si putih bunting, si hitam tidak pernah muncul lagi. Pergi entah ke mana.

Setelah beberapa bulan lahir tiga anak kucing berwarna belang, hitam-putih. Lucu-lucu. Selang sebulan kemudian, muncul si hitam menyambangi si putih, yang tampak menerima kedatangannya dengan suka cita. Mereka kelihatan rukun, berjalan berduaan.

Anak-anak kucing asyik bermain-main berkejar-kejaran. Si hitam tampak tidak peduli. "Ngeong-ngeong", kedengaran kegaduhan lagi. Dasar laki-laki (kucing).

*) Parni Hadi adalah wartawan senior, pengamat media, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA periode 1998-2000, dan Direktur Utama Radio Republik Indonesia (RRI) periode 2005-2010.

Oleh Parni Hadi *)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2016