Jakarta (ANTARA News) - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menilai insiden tragis penembakan polisi terhadap atasannya, Waka Polwiltabes Semarang merepresentasikan persoalan akut dan sistemik di dalam tubuh institusi kepolisian. Koordinator Pekerja Kontras, Usman Hamid, dalam keterangannya, di Jakarta, Kamis, menyesalkan insiden penembakan Briptu Hance Christian terhadap atasannya Waka Polwiltabes Semarang, AKBP Lilik Purwanto. Kontras menganggap persoalan tersebut bukan sebagai masalah kejahatan persoalan belaka. Mutu anggota Polri yang masih minim akibat proses seleksi dan pelatihan hanya sedikit perhatiannya pada norma HAM. "Pelatihan penggunaan senjata api diutamakan, tetapi mengabaikan pelatihan skill lain, seperti metode persuasi, mediasi, atau negosiasi," kata Usman. Hal itu dianggap penting agar aparat kepolisian tidak membiasakan diri selalu menggunakan metode kekerasan termasuk senjata api dalam menyelesaikan persoalan dengan atasannya. Kultur militeristik (yang cenderung mengedepankan kekerasan) sudah saatnya dikikis dalam kepolisian yang kini sudah menjadi institusi sipil sebab peran polisi bersifat fleksibel dalam mengatasi persoalan di masyarakat dari melumpuhkan teroris hingga menerima aduan dari masyarakat. Kontras juga menyesalkan minimnya kontrol eksternal terhadap institusi kepolisian, misalnya saja untuk anggotanya yang terbukti melakukan kejahatan, kepolisian mengedepankan mekanisme penyelesaian secara internal. Kontras mendesak Polri untuk segera mengadopsi prinsip perilaku aparat penegak hukum (Code of Conduct for Law Enforcement Officials) dan prinsip dasar penggunaan kekerasan senjata oleh aparat penegak hukum (Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials). "Keduanya merupakan norma HAM universal yang dibuat berdasarkan pengalaman kasus penyalahgunaan kewenangan oleh institusi kepolisian, yang salah satunya mencakup penggunaan senjata api," katanya.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007