Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan M Prakosa menilai temuan adanya kunjungan kerja fiktif anggota Dewan adalah tudingan yang kurang berdasar.

"Temuan dugaan kunjungan kerja fiktif muncul karena sistem pertanggungjawaban yang dibuat anggota Dewan adalah lumpsum," kata M Prakosa, di Jakarta, Jumat.

Prakosa mengatakan hal itu menanggapi isu temuan sementara BPK bahwa ada dugaan kunjungan kerja anggota DPR RI fiktif yang jumlahnya mencapai Rp945 miliar.

Menurut Prakosa, kegiatan politik seperti kunjungan kerja oleh anggota Dewan, sesungguhnya tidak dapat diatur-atur orang lain, tapi ditentukan oleh anggota Dewan itu sendiri apakah masih ingin terpilih atau tidak.

"Politisi yang menentukan apakah dirinya akan hadir atau tidak dalam suatu rapat atau kunjungan kerja, sehingga sistem pertanggungjawabannya dibuat lumpsum. Lumpsum pun sebenarnya tidak pas," kata Prakosa.

Mantan ketua Badan Kehormatan (sekarang Mahkamah Kehormatan Dewan) ini menjelaskan, sistem yang pas adalah seperti yang dipraktikkan di negara-negara dengan pemilihan langsung, yakni politisi mendapat suatu jumlah biaya tertentu dalam satu tahun untuk kebutuhan bertemu konstituen dan kunjungan kerja.

Dengan sistem itu, kata dia, si anggota Dewan apakah memakai staf atau tidak untuk daerah pemilihan masing-masing, akan menjadi keputusan politiknya.

"Di DPR RI, sistem yang diterapkan saat ini sebenarnya merendahkan martabatnya sendiri, karena kunjungan anggota ke daerah pemilihan ada dana dari Setjen DPR. Setelah disetujui Sekjen setuju, baru berkunjung ke daerah pemilihan," katanya.

Menurut Prakosa, dengan sistem tersebut mengesankan anggota Dewan berada di bawah Sekjen DPR RI, paling tidak dalam hak keuangan.

Anggota Dewan di negara lain, kata dia, pasti punya hak keuangan, tapi tidak seperti di Indonesia yang seperti pegawai.

"Masak akan melakukan kegiatan harus mengajukan dana ke Sekjen dan setelah selesai kegiatan harus membuat laporan pertanggungjawaban?" katanya.

Prakosa menegaskan, Sekjen DPR RI itu bagian dari eksekutif atau Pemerintah, sehingga jika anggota mau melakukan kegiatan politik, harus izin ke Pemerintah atau eksekutif.

Isu adanya potensi kerugian negara dalam kunjungan kerja perseorangan anggota DPR, disampaikan pertama kali oleh Wakil Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPR RI Hendrawan Supratikno.

BPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 945.465.000.000 dalam kunjungan kerja perseorangan yang dilakukan oleh anggota DPR RI.

Pewarta: Riza Harahap
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016