Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta pada Senin menjatuhkan vonis hukuman empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider satu bulan kurungan kepada Rinelda Bandaso karena terbukti menjadi perantara suap anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo.

"Terdakwa Rinelda Bandaso terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan korupsi secara bersama-sama sebagaimana dakwaan pertama," kata ketua majelis hakim Baslin Sinaga.

Vonis tersebut lebih rendah dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK, yang meminta Rinelda dihukum penjara selama lima tahun dikurangi tahanan dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.

"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Hal yang meringankan terdakwa belum pernah dihukum dan mengakui perbuatannya," tambah hakim Baslin.

Artinya majelis hakim yang terdiri dari Baslin Sinaga, Masud, Didiek Riyono Putro, Titi dan Sigit Purnomo tersebut tidak setuju menjadikan status sebagai kolaborator keadilan (Justice collaborator/JC) yang diberikan pemimpin KPK berdasarkan surat pimpinan KPK No.1212/01/55/12/2015 pada 15 Desember 2015 sebagai faktor peringan.

Rinelda selaku staf administratif Dewie Yasin Limpo, anggota fraksi Hanura Komisi VII DPR dari daerah pemilihan Sulawesi Selatan, mempertemukan Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii, dengan Dewie Yasin Limpo untuk membahas rencana pembangunan Pembangkit Listrik di Kabupaten Deiyai.

Dewie kemudian menyatakan bersedia mengawal agar Kabupaten Deiyai mendapat dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada 30 Maret 2015, setelah Rapat Dengar Pendapat antara Komisi VII DPR dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dewi memperkenalkan Irenius dengan Menteri ESDM Sudirman Said dan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Rida Mulyana.

Dewie kemudian meminta Irenius menyerahkan Laporan Hasil Survey Rencana Pembangunan Jaringan Distribusi dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro di Kabupaten Deiyai untuk selanjutnya diserahkan kepada Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir.

Dewie pun meminta agar Rinelda aktif menanyakan tindak lanjut proposal itu ke Kementerian ESDM.

Pada 28 September 2015, Dewie bersama Rinelda dan Bambang Wahyuhadi bertemu dengan Irenius dan dalam pertemuan itu Dewie kembali meminta Irenius menyiapkan dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan yaitu Rp50 miliar dan Irenius mengatakan akan mengupayakannya.

Pada 18 Oktober 2015 di Restoran Bebek Tepi Sawah Pondok Indah Mall 2 Jakarta, Dewie Limpo, Bambang, Irenius, Setiady dan Stefanus Harry Jusuf rekan Setiady bertemu.

Pertemuan itu menyepakati Dewie akan menerima dana pengawalan tujuh persen dari anggaran yang diusulkan dan meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan APBN 2016 ke Ine.

Setiady pun sepakat menyerahkan setengah dana pengawalan sebsar Rp1,7 miliar dalam bentuk dolar Singapura.

Pada 20 Oktober di Resto Baji Pamai Mal Kelapa Gading Jakarta Utara uang dari Irenius dan Setiady sebanyak 177.700 dolar Singapura diserahkan kepada Rinelda. Selain itu ditandatangani surat yang menyatakan bahwa uang akan dikembalikan jika Setiady gagal menjadi pelaksana pekerjaan.

Atas putusan itu, Rinelda menyatakan akan pikir-pikir dulu.

"Masih pikir-pikir, saya kan tidak terima APBN. Hakim juga tidak memasukkan justice collaborator," kata Rinelda usai sidang.

Terkait perkara ini Irenius Adii dan Setiady Jusuf sudah divonis masing-masing 2 tahun penjara dan pidana denda masing-masing sebanyak Rp50 juta dengan kurungan pengganti denda selama 3 bulan.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2016