Jakarta (ANTARA News) - Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) saat ini mulai beralih ke sistem flare yang lebih mudah pemasangannya, praktis penggunaannya, serta memiliki keunggulan dalam kemampuan menghasilkan partikel seukuran mikron dalam jumlah sangat banyak. "Dengan penggunaan sistem flare memungkinkan untuk dilakukan penyalaan secara otomatis bahkan dengan sistem remote control," kata Kepala UPT Hujan Buatan BPPT, Dr. Asep Karsidi, di Jakarta, Selasa. Berbeda dengan cara konvensional (penyemaian), ujarnya, dengan model flare modifikasi cuaca lebih efektif, di mana bubuk semai (NaCl dan bahan lainnya) dimampatkan dalam selongsong yang dalam operasinya dibakar dan disemburkan ke atmosfer. Partikel garam yang beterbangan dalam bentuk asap diasumsikan masuk ke dalam awan . Dengan sistem flare, menurut dia, kegiatan modifikasi cuaca sudah mendekati pada kaidah yang saat ini dilakukan para pelaku modifikasi cuaca dunia. Teknologi Modifikasi Cuaca dapat digunakan mulai dari pembuatan hujan, mengatasi kekeringan, mengatasi kebakaran hutan, termasuk mengurangi kemungkinan bencana banjir, ujarnya. Caranya, menurut dia, yaitu dengan menaburkan atau menembakkan partikel bahan semai berupa NaCl dengan menggunakan media penghantar yang dilakukan melalui pesawat udara ataupun melalui menara Ground Based Generator (GBG). Secara alami sesungguhnya proses awan menjadi hujan melalui suatu proses yang sangat panjang yang diawali dengan adanya embrio awan, kemudian tumbuh menjadi awan yang besar. Proses tumbukan-penggabungan yang efisien akan memicu dan mempercepat terjadinya hujan. Proses itu berlangsung antara butiran yang besar dan yang kecil. Dengan menambahkan partikel Cloud Condensation Nuclei (CCN) yang lebih besar dari partikel CCN yang ada di alam maka efisiensi tumbukan-penggabungan akan meningkat dan akhirnya hujan akan lebih cepat turun bila dibandingkan dengan dibiarkan secara alami. Namun demikian, lanjut Asep, tidak semua awan bisa dimodifikasi karena hanya awan-awan setinggi 4-5 ribu hingga 15.000 hingga 20.000 kaki dan awan-awan lokal yang bisa disemai agar lebih cepat turun, bukan awan tinggi (seperti awan stratus dan cirrus) atau awan kiriman seperti awan penyebab banjir Jakarta awal Februari lalu. Awan yang bisa dimodifikasi tersebut yakni awan-awan konveksi akibat pengangkatan massa udara dan awan orografis yang terbentuk karena massa udara yang terbentuk di pegunungan. Teknologi modifikasi cuaca Indonesia, ujarnya, tidak tertinggal dari negara lain, bahkan termasuk yang terdepan di ASEAN. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007