Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi XI DPR Andreas Eddy Susetyo mengatakan besarnya potensi kegagalan setelah disahkannya RUU Pengampunan Pajak "Tax Amnesty" dibanding besarnya penerimaan pajak yang diharapkan pemerintah.

"Dari studi empiris yang dilakukan, Pengampunan Pajak ini tingkat kegagalannya lebih besar. IMF saja mengatakan negara yang berhasil melakukan adalah anomali. Istilahnya potensi gagalnya besar," ujar legislator asal Fraksi PDI-Perjuangan tersebut pada diskusi yang diselenggarakan oleh PARA Syndicate di Jakarta, Jumat.

Andreas mengatakan melihat dari pengalaman Indonesia yang sebelumnya menerapkan kebijakan yang sama pada 1964, 1984 dan 2008 yang diikuti "sunset policy" memang berdampak langsung terhadap besarnya penerimaan pajak di tahun yang bersangkutan.

Akan tetapi, peningkatan tersebut belum tentu akan berlanjut dan justru penerimaan pajak kembali turun jika berkaca pada pengalaman sebelumnya.

Menurut dia, situasi dalam mengambil keputusan dilanjutkannya pembahasan Tax Amnesty menjadi dilematis, apalagi berdampak pada ekonomi yang stagnan.

"Kalau (Tax Amnesty) tidak diterapkan, apakah bukan menjadi langkah mundur yang luar biasa. Ekonomi dalam ketidakpastian karena ini menyangkut kredibilitas pemerintah," ujar Andreas.

Kebijakan ini, kata Andreas, memang sudah lama direncanakan dan pemerintah telah memmberi peringatan sejak 2015, bahkan sudah melibatkan berbagai pihak, seperti pengusaha untuk ikut memberi aspirasi terkait instrumen Tax Amnesty.

Rencana kerja pemerintah termasuk rencana pengeluaran sudah dinaikkan karena potensi penerimaan pajak.

Lebih dari itu, pemerintah juga perlu menajamkan kembali tujuan utama disahkannya RUU Tax Amnesty yang saat ini masih dalam proses tarik-ulur pembahasan di Komisi XI DPR, yakni repatriasi modal.

Agar repatriasi modal tercapai, Andreas menyarankan untuk memperhitungkan kembali skema tarif tebusan yang dinilai masih terlalu rendah dalam draft RUU Tax Amnesty.

Pewarta: Mentari Dwi Gayati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016