Jakarta (ANTARA News) - Struktur tanah di Jakarta termasuk rawan menahan guncangan gempa, karena tersusun dari endapan rawa dan sungai dari bahan pasir dan lempung yang belum terkonsolidasi (belum padat) dengan kandungan air tanah yang tinggi, kata pakar LIPI, Eko Yulianto PhD. "Jika endapan muda, plestosin berusia maksimal 2 juta tahun yang belum terkonsolidasi semacam ini diguncang gempa besar, maka yang terjadi adalah liquifaksi di mana bangunan-bangunan di atasnya ambles," ujar geolog dari Pusat Penelitian (Puslit) Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu di Jakarta, Jumat. Namun demikian, Jakarta relatif jauh dari sumber gempa yang biasanya terjadi di wilayah subduksi antara lempeng Indo Australia dengan Eurasia (Palung Jawa) yang jaraknya sekitar 100 hingga 150 km dari pantai selatan Jawa. Sementara itu, sumber gempa Jakarta lainnya berupa patahan tua, terkubur jauh di bawah tanah dan belum diketahui apakah bisa teraktivasi kembali oleh pengaruh gempa lainnya. Ia juga mengatakan, endapan yang belum terkonsolidasi (gembur) juga mewarnai banyak kota lain di Indonesia seperti Bandung, Yogyakarta dan wilayah lainnya di pantai selatan Jawa seperti Cilacap, Pacitan atau Banyuwangi. Disebutkannya, struktur tanah di Yogya berupa cekungan berisi pasir dari pegunungan api sementara sekelilingnya batuan keras dengan patahan (sesar) Opak. "Itulah mengapa gempa Yogya 5,8 SR saja sangat menghancurkan. Penyebabnya adalah efek cekungan yang membuat gempa dangkal tersebut memantul-mantul secara horizontal, membuat gempa menjadi berlangsung lebih lama dan memperparah kerusakan bangunan di atasnya," katanya. Bandung, katanya menambahkan, juga berada di cekungan batuan keras yang terisi endapan danau purba dan akan mendapat efek memantul-mantul yang cukup merusak jika diguncang gempa 6 SR saja oleh patahan lembang. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007