"Caranya bagaimana ya tahu-tahu bisa tangkap tangan? Saya ingin Operasi tangkap tangan diperluas, bisa diperbanyak," kata Ketua KPK Agus Rahardjo saat serah terima jabatan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta, 21 Desember 2015.

Agus yang punya latar belakang pendidikan sarjana teknik dari Jurusan Teknik Sipil Institut Teknologi Surabaya (lulus 1984) dan punya karier awal sebagai birokrat di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2000-2005) ternyata menepati janjinya untuk memperbanyak kuantitas OTT KPK.

Hingga hari ke-101, ia bersama dengan empat pimpinan KPK lain --Alexander Marwata, Basaria Panjaitan, Saut Situmorang dan Laode M Syarif menjabat sudah ada empat OTT yang berhasil meringkus para pelaku terduga korupsi.

Setidaknya ada satu OTT setiap bulan. Bahkan saat tersangka pada OTT pertama pun belum ada yang menjalani sidang perdana di pengadilan, KPK sudah menggelar 3 OTT lain.

"Mungkin bisa dibagi kalau ternyata hasil OTT kecil, maka ditangani ke teman yang lain, kalau besar kita tangani sendiri, sebaliknya kalau berbenturan tapi berdampak luas sebaiknya kita ambil. Semoga konsolidasi dapat lebih baik, harapannya tiap tahun corruption perception index naik secara signifikan," ungkap Agus.

OTT 1
OTT pertama terjadi pada Rabu malam, 13 Januari 2016 dilakukan terhadap anggota Komisi V DPR dari fraksi PDI-Perjuangan Damayanti Wisnu Putranti.

Dia ditangkap di rumahnya di kawasan Lenteng Agung Jakarta Selatan karena diduga menerima uang dari Direktur PT Windhu Tunggal Utama, Abdul Khoir.

Damayanti diduga menerima sekitar 360 ribu dolar Singapura (sekitar Rp3,5 miliar) dari Abdul Khoir untuk mengupayakan proyek dari program dana aspirasi DPR disalurkan untuk proyek pembangunan jalan di Maluku dan Maluku Utara sehingga Abdul Khoir dapat menjadi pelaksana proyek tersebut.

Selain Damayanti dan Khoir, KPK juga menangkap Julia Prasetyarini di Tebet dan Dessy Ariyati Edwin di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Keduanya merupakan rekan Damayanti sekaligus perantara pemberi "fee" dari Abdul Khoir.

OTT 2
12 Februari 2016, KPK melakukan OTT terhadap Kepala Sub Direktorat Kasasi dan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung (MA) Andri Tristianto Sutrisna yang diduga menerima suap dari pengacara Awan Lazuardi Embat.

Tujuan pemberian suap yaitu sebesar Rp400 juta adalah agar Andri dapat menunda salinan putusan kasasi yang menjerat klien Awan yaitu Direktur PT Citra Gading Asritama Ichsan Suaidi.

OTT 3
OTT ketika dilakukan pada Kamis pagi, 31 Maret 2016 terhadap tiga orang yaitu Direktur Keuangan PT Brantas Abipraya Sudi Wantoko, senior manager PT Brantas Abipraya Dandung Pamularno dan seorang perantara yaitu Marudut.

Penyidik KPK mengamankan Marudut dan Dandung setelah melakukan transaksi di toilet pria hotel Best Western, Cawang. 

Dadung diketahui memberikan 148.835 dolar AS (sekitar Rp1,96 miliar) kepada Marudut agar penyelidikan atau penyidikan kasus yang melibatkan PT Brantas di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta dihentikan.

OTT 4
Selang  11 jam dari OTT ke-3, KPK mengamankan Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI Jakarta Mohamad Sanusi, Personal Assistant di PT Agung Podomoro Land (APL) Trinanda Prihantoro, Geri dan Berliana yang merupakan perantara di beberapa tempat berbeda.

Sanusi dan Geri ditangkap di pusat perbelanjaan FX Senayan, Trinanda diamankan di kantor APL di Jakarta Barat sedangkan Berliana diamankan di rumahnya di Rawamangun.

KPK menetapkan Sanusi sebagai tersangka penerima suap dari Presiden Direktur PT APL Ariesman Widjaja yang pada 1 April 2016 pukul 19.55 WIB menyerahkan diri ke KPK setelah sebelumnya ia berpindah-pindah tempat di sekitar Jakarta Barat.

Ariesman diketahui memberikan Rp2 miliar dan sudah dipergunakan oleh Sanusi sebesar Rp860 juta. Tujuan pemberian suap itu terkait pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Provinsi (RWZP3K) DKI Jakarta 2015-2035 dan Raperda tentang Rencana Kawasan Tata Ruang (RTR) Kawasan Strategis Pantai Jakarta Utara.

PT Agung Podomoro Land melalui anak usahanya yaitu PT Muara Wisesa Samudera diketahui telah mengantongi proyek reklamasi untuk tiga pulau buatan seluas 165 hektar.

KPK pun sudah mencegah pergi keluar negeri petinggi Agung Sedayu Group Sugianto Kusuma alias Aguan Sugianto dalam pengembangan kasus ini.

"KPK sangat prihatin dan ini kami bisa mengatakan ini adalah bisa dikategorikan grand corruption karena dari awal kami berlima ingin menyasar korupsi-korupsi besar yang melibatkan swasta dan yang paling penting lagi ini contoh paripurna dimana korporasi mempengaruhi kebijakan publik," kata pimpinan KPK Laode M Syarif.

KPK pun menilai hal ini contoh penting untuk menunjukkan pengaruh korporasi dalam pembuatan peraturan.

"KPK menganggap kasus ini sangat penting karena merupakan contoh paripurna tentang bagaimana kroporasi mempengaruhi pejabat publik untuk kepentingan yang sempit bukan umum," tegas Syarif.

Dari empat OTT tersebut, KPK punya waktu maksimal 90 hari untuk membawa kasus tersebut ke pengadilan, semoga saja keadilan terwujud dari empat kasus tersebut sehingga bukan hanya meriah di awal tapi melempem di akhir.

Oleh Desca Lidya Natalia
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016