Jakarta (ANTARA News) - Novelis Eka Kurniawan menurut jurnal yang terbit di Amerika Serikat, Foreign Policy adalah satu dari 100 Pemikir Global 2015. 

Eka kerap mengangkat budaya lokal dalam karyanya dan penerbit asing ingin mengedarkan bukunya dalam bahasa mereka, seperti Inggris, Prancis dan Jerman.

Novel-novelnya yang kaya pengalaman indrawi harus ditulis Eka dalam suasana yang bising. Berikut petikan wawancara Antara News dengan Eka Kurniawan.

Paling lama menulis buku apa dan berapa lama?
Paling lama non-stop waktu "Cantik Itu Luka". Hampir berbulan-bulan aku mengurung diri di kamar, nulis. Aku nulis biasanya re-write. Nulis sampai jadi lalu koreksi, tulis ulang lagi dari awal. Versi final itu enam bulan non-stop nulis.

Waktu itu, kuliah sudah selesai. Luntang-lantung saja di Jogja, nggak ada tanggungan, hidup di Jogja murah, orang tua masih kirim duit. Jadi, enak aja.

Sekarang, non-stop enam bulan mungkin agak susah. Sekarang kan harus antar anak sekolah. Sekarang aku butuh waktu relatif lebih panjang , tiga tahun, tujuh tahun. Nyicil saja.

Kalau udah selesai biasanya aku re-write lagi supaya tone-nya terjaga.

Waktu itu selama enam bulan menghilang dari peredaran?
Nggak.. Teman-temanku datang saja, kadang nungguin, mereka tidur, aku ngetik.

Terganggu dengan kedatangan orang lain?
Nggak juga sih, selama nggak diajak ngobrol.

Apa distraksi saat nulis?
Banyak, aku memang gampang terdistraksi. Diajak ngobrol, itu pasti terdistraksi. Juga media sosial sampai akhirnya aku mencabut diri. Kalau nggak, terdistraksi terus. Di rumah, istriku sudah tahu, kalau lagi kerja jangan diajak ngobrol. Anakku, masih lima tahun, aku kasih pengertian kalau ayahnya lagi kerja, lewat saja boleh. Tapi, jangan ajak ngobrol. Kadang-kadang dia ganggu hehehe.

Musik?
Nggak. Biasanya malah sambil dengar musik karena justru kalau nggak bising, pikiranku bisa ke mana-mana, melamun. Malah nggak nulis.

Aku bisa kerja di tempat umum. Waktu "Lelaki Harimau", aku nulis di Sarinah. Dulu, pertama kali datang ke Jakarta, kos di Salemba, aku biasanya nongkrong di TIM (Taman Ismail Marzuki). Sebelum ke TIM, nulis di foodcourt Sarinah.

Waktu itu masih tulis tangan karena aku datang ke Jakarta nggak punya komputer. Makanya tipis (novel "Lelaki Harimau) hehehe.

Kenapa harus bising?
Membuatku lebih fokus. Kalau senyap, sunyi aku malahan melamun.

Novel "Cantik Itu Luka" pernah disebut gagal oleh kritikus buku dalam negeri. Sebagai penulis apa tolak ukur keberhasilan atau kegagalan suatu buku?
Banyak ukurannya. Aku merasa tiap kali habis nulis, terbit, wah kayaknya yang itu ada gagalnya. Aku harus perbaiki.

Tapi, membuatku ingin menulis lagi, memperbaiki. Contoh, setelah selesai menulis "Cantik Itu Luka", aku merasa novel itu ramai banget, kayak karnaval. Terlalu bising.

Aku merasa harus memperbaiki. Tapi, aku nggak di novel itu, di novel berikutnya. Aku tulis "Lelaki Harimau".Padat.

Aku rasa itu tiap habis nulis novel 'Ah, sial, gagal', jadi aku mau nulis lagi hehehe.

Dari empat novel yang sudah ditulis, mana yang paling bikin puas?
Nggak ada hehehe. Belum.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016