Jakarta (ANTARA News) - Praktisi hukum Suhardi Sumomoeljono menilai selama ini deradikalisasi atau pembinaan terhadap para pelaku terorisme telah berjalan cukup baik, meski belum maksimal.

Dari ratusan napi terorisme, hanya sekitar 20 orang yang masih radikal. Sebagian besar lainnya dinilai berhasil disadarkan seperti Abdul Rahman Ayub, Ali Fauzi, Umar Patek, Abu Tholut, Khorul Ghazali, dan Tony Togar.

"Memang masih ada satu atau dua yang susah disadarkan seperti Abubakar Baasyir dan Aman Abdurrahman, tapi apa yang telah dilakukan selama ini sudah cukup baik, meski harus tetap ditingkatkan lagi," kata Suhardi di Jakarta, Selasa.

Ketua Umum Himpunan Advokat/Pengacara Indonesia (HAPI) ini berpendapat terkait deradikalisasi ada persoalan yang harus dibenahi, baik di hulu maupun hilir.

"Pertama mulai dari hulu yaitu proses persidangan di pengadilan di mana sama sekali tidak menimbulkan jera karena masih terpaku pada hukuman yang tidak signifikan," kata Suhardi.

Kedua, kata Suhardi, selama ini belum ada sistem yang memisahkan antara napi terorisme dan napi biasa. Ini menjadi persoalan di lapangan karena prosedur tetap (protap) pembinaan napi biasa dengan protap napi kejahatan khusus (terorisme) masih sama.

"Bayangkan, yang satu bersifat kejahatan ideologi dan satunya kejahatan sesuai KUHP. Bila pembinaannya dilakukan secara formal seperti yang dipakai protap umum tentu tidak relevan. Bagi napi yang penting mereka cepat bebas bersyarat," katanya.

Menurut dia, sudah saatnya ada protap khusus untuk napi terorisme. Kalau dicampur, mereka justru bisa makin exist, bahkan malah bisa menarik napi umum yang stres masuk lingkaran mereka melalui pendekatan agama.

"Bayangkan saja, selama ini aparat saja banyak terpengaruh dan bergabung dengan paham radikal yang disebarkan napi terorisme, apalagi napi umum, tentunya akan lebih mudah diracuni, " kata Suhardi.

Pengamat intelijen Wawan H Purwanto mengatakan selama ini berbagai upaya telah dilakukan untuk mendukung program deradikalisasi seperti mendatangkan ulama dari Timur Tengah.

"Tapi masih ada napi terorisme yang benar-benar kolot. Inilah yang menjadi PR (pekerjaan rumah, Red) kita. Selain itu, kita juga harus memperkuat lini pencegahan terorisme melalui berbagai program pencegahan," kata dia.

Menurut Wawan, deradikalisasi memang sangat rumit karena menyangkut ideologi dan agama, sehingga tidak bisa dilakukan secara instan, butuh waktu panjang.

Deradikalisasi juga harus melibatkan banyak pihak, di antaranya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (Terorisme) dan Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham, sehingga perlu kesamaan visi dan misi dari berbagai lembaga dan instansi terkait.

Selain itu, deradikalisasi tidak boleh berhenti di dalam lembaga pemasyarakatan (Lapas), tetapi juga harus dilanjutkan saat napi tersebut sudah menghirup udara bebas.

Mereka, kata Wawan, harus terus dirangkul dan diberikan pemahaman yang benar serta pelatihan kerja, bahkan kalau bisa disalurkan mencari pekerjaan.

"Jangan setelah mereka keluar malah dikucilkan, keluarga dan anak-anaknya dijauhi. Dalam hal ini peran masyarakat diperlukan untuk memberikan kepeduliannya agar mereka tidak kambuh lagi," kata Wawan.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016