Surabaya (ANTARA News) - Pakar dari Fakultas Kedokteran Hewan (FKH) Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Prof Dr drh Chairul Anwar Nidom MS, mencurigai virus Zika sebagai bagian dari teror biologi atau bioterorisme jika dilihat dari tanda-tanda yang menyertainya.

"Saya sebagai peneliti curiga bahwa virus Zika bisa dikatakan mendekati ancaman bioterorisme yaitu teror dengan senjata biologi berupa kuman penyakit," kata Guru Besar Unair tersebut di Surabaya, Jumat.

Ia mengatakan bioterorisme bisa berdampak langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, bioterorisme bisa menyebabkan kematian dan kesakitan dalam jangka panjang.

"Dampak langsung lainnya itu seperti informasi yang berkembang mengenai dampak dari virus Zika, yaitu microchepaly, sebuah kondisi buruk ketika bayi dilahirkan dengan otak dan kepala kecil, sehingga masyarakat langsung cemas," katanya.

Menurut dia, informasi ini seharusnya dilandasi dengan kajian ilmiah. "WHO (World Health Organization), yang menyatakan darurat kesehatan akibat persoalan virus Zika, sebaiknya melakukan riset terlebih dahulu agar tidak membuat cemas," tuturnya.

Peneliti virus Flu Burung itu menyatakan bioterorisme bisasanya menggunakan bakteri, virus, dan kuman penyakit lain yang dampaknya tidak langsung namun berjangka waktu lama, yaitu perekonomian jatuh, sedangkan untuk permasalahan viru Zika ini masih perlu diteliti.

"Bioterorisme perlu diantisipasi, sebab Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) atau globalisasi memang memicu persaingan ekonomi. Seseorang yang panik, ketika ditawarkan apa saja, maka ia langsung menerimanya tanpa memikirkan terlebih dahulu dan ini terjadi secara global," ujarnya.

Ia mengungkapkan, masyarakat global melalui media massa seakan sedang dipengaruhi bahwa virus Zika sangat berbahaya, padahal di Indonesia seharusnya yang dikhawatirkan adalah virus influenza, seperti flu burung serta virus dengue atau Demam Berdarah Dengue (DBD).

Dampak dari kekhawatiran Zika di antaranya terjadi di Brasil.

"Secara tiba-tiba pemerintah Brazil mengambil keputusan bahwa perempuan di sana tidak diperbolehkan hamil karena dikhawatirkan terinfeksi virus Zika, karena akan menyebabkan microchepaly. Hal inilah yang harus dicari motifnya, padahal virus Zika ditemukan sekitar 69 tahun lalu, tepatnya 1947," jelasnya.

Hal tersebut, lanjutnya, akan menyebabkan gangguan psikologis bagi calon ibu maupun wanita yang ingin memiliki keturunan, namun tidak ada landasan ilmiah yang meyakinkan dampak buruk virus Zika. Selan itu, virus Zika juga bisa ditularkan melalui hubungan seks.

"Ada informasi bahwa virus Zika bisa ditularkan melalui hubungan seks, kemudian ada kebijakan pemerintah di luar negeri yang menyarankan ketika berhubungan seks harus menggunakan pengaman atau kondom. Jika begitu, maka virus Zika ini berarti sama halnya dengan HIV/AIDS," paparnya.

Kendati demikian, ia menambahkan harus ada pendekatan terhadap virus Zika, DBD, dan chikungunya, yang penyebarannya melalui nyamuk.

"Saya menyarankan kepada masyarakat jangan cemas, karena virus Zika ini kemungkinan ada beberapa pihak yang akan memanfaatkannya, untuk menjadi isu internasional dan bisa mematahkan perekonomian atau kestabilan suatu negara tertentu, karena hal ini mendekati tanda ancaman bioterorisme," tandasnya.

Pewarta: Indra Setiawan/Laily Widya
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016