Jakarta (ANTARA News) - Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan, Komarudin Watubun, mengatakan bahwa mundurnya Setya Novanto sebagai ketua DPR RI, terkait kasus pelanggaran etika dalam pertemuan dengan bos PT Freeport, merupakan momentum untuk membela rakyat Papua.

"Saya harap semua tidak hanya berhenti di hasil sidang MKD saja. Ada bola salju yang harus dibongkar sampai akar-akarnya," kata Komarudin, di Jakarta, Kamis.

Pascamundurnya Setya Novanto, diingatkan, rakyat Papua kini menuntut pembelaan dari Presiden Joko Widodo. Terlebih selama ini kehadiran PT Freeport di tanah Papua hanya dijadikan ajang tarik menarik kepentingan di pemerintah pusat.

"Yang jadi korban rakyat Papua. Tembak menembak terus terjadi di sana. Kini rakyat Papua menuntut langkah tegas Presiden Jokowi untuk lebih disejahterakan," ucapnya.

Anggota DPR dari Dapil Papua ini merasa bertanggung jawab terhadap kebijakan Presiden Jokowi di Papua karena dirinyalah yang pertama kali mengundang Jokowi menginjakkan kaki di tanah Papua pada akhir kampanye Pemilihan Legislatif (Pileg) 2014 lalu.

"Kami berkampanye di Lapangan Papua Trade Centre (PTC) Entrop, Abepura, Jayapura, Papua, Sabtu 5 Mei 2014 lalu. Sebelum Jokowi tampil di acara kampanye itu, sebagai Ketua DPD PDI Perjuangan Papua dan wakil Ketua DPR Papua, saya sempat berpesan," ujarnya.

Pada saat itu, dirinya menitipkan Papua kepada Jokowi untuk diurus dengan hati, bukan hanya diurus dengan pikiran. Dengan demikian, rakyat Papua dapat terhindar dari berbagai konflik kepentingan terkait keberadaan PT Freeport.

"Karena kalau mengurus Papua hanya dengan pikiran, tapi mengabaikan hati, hal itu sudah dilakukan oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya," ucap Komarudin.

Sikap dan langkah Presiden Jokowi terhadap kasus papa minta saham memberikan makna bahwa Jokowi hanya setengah hati dalam mengelola Papua.

"Harusnya Ini pintu masuk bagi Iokowi untuk mewujudkan janjinya agar Sumber Daya Alam Papua untuk diperuntukkan sebesar-besarnya pada rakyat Papua," tegas Bung Komar, sapaan Komarudin Watubun.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015