Jakarta (ANTARA News - Tumpukan belasan hingga puluhan ribu aki bekas tampak menggunung berserakan dengan menyebarkan bau cairan bahan kimia menyengat sangat tajam.

Aki bekas dan cairannya tersebut masuk dalam kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan hidup. Air aki bila terkena kulit bisa gatal-gatal, panas hingga melepuh, sementara baunya yang sangat menyengat jika dibiarkan dalam jangka panjang akan memberikan efek negatif bagi tubuh, terutama paru-paru.

Jika dilihat secara sepintas ribuan aki bekas yang menggunung tersebut tidak berguna dan merupakan barang bekas berbahaya dan tidak memiliki nilai ekonomis.

Tapi tidak bagi PT Indra Eramulti Logam Industri (IMLI) yang terletak di Desa Gununggangsir, Kecamatan Beji, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, tersebut. Aki-aki bekas yang berbahaya tersebut akan diolah sedemikian rupa dengan menggunakan alat-alat berat tak terlalu modern, menjadi timah batangan yang selanjutnya dikirim ke pabrik aki untuk selanjutnya dibuat menjadi aki baru.

"Kita olah aki-aki bekas tersebut yang semula tak berguna dan berbahaya itu menjadi timah batangan yang lebih ramah lingkungan dan tak membahayakan kesehatan manusia," kata Kepala Pabrik PT IMLI Surya Widada.

Menurutnya, aki-aki tersebut dilebur dan diolah sedemikian rupa dengan proses pemanasan suhu yang sangat tinggi sehingga bisa menghasilkan batangan timah untuk dkirim ke pabrik aki sebagai bahan baku pembuatan aki sepeda motor, mobil, bus, hingga truk.

Surya mengatakan bisnis pengolahan aki bekas di Indonesia memang masih belum terlalu banyak sehingga sebenarnya memberikan hasil yang cukup menguntungkan.

Dia mengatakan, sekalipun perusahaannya bergerak di bidang pengolahan aki bekas namun pihaknya tetap mengedepankan ramah lingkungan serta menciptakan penghijauan di sekitar pabrik.

"Limbah B3 yang kita buang semuanya telah kita proses dengan mesin dan alat yang modern dan tidak mencemari lingkungan pabrik sehingga tidak mengganggu kesehatan masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik," kata Surya.

Perusahaan, katanya, secara berkala selalu diaudit oleh Kantor Lingkungan Hidup Jawa Timur untuk diketahui apakah dalam menjalankan usaha tetap memperhatikan lingkungan sekitar.

PT IMLI yang telah beroperasi sejak 25 tahun yang lalu tersebut, selama ini secara konsisten terus bergerak dibidang pengolahan limbah B3, khususnya aki bekas, dan sampai kini terus beroperasi.

"Kami sadar bahwa produk yang kita olah termasuk dalam kategori limbah B3. Tapi dengan usaha yang kita miliki maka limbah B3 tersebut kita olah menjadi produk yang bisa bermanfaat dan bernilai tambah," kata Surya.


Ancam cabut

Pengelolaan serta pemanfaatan limbah B3 memang menjadi salah satu syarat mutlak bagi industri agar bisa terus menjalankan usahanya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) ancam akan memberikan sanksi tegas kepada industri yang tak mau memanfaatkan serta mengelola limbah B3 menjadi produk yang bisa bermanfaat yang aman bagi kesehatan.

"Tentu ada hukuman bagi industri yang tak mengindahkan mengelola dan memanfaatkan limbah. Kita akan pengawasan dan teguran jika tak mau mengelola limbah," kata Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Berbahaya Beracun (B3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Tuti Hendrawati Mintarsih.

Hal tersebut disampaikan usai membuka bimbingan teknis Pemanfaatan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun "Ubah Limbah Menjadi Nilai Tambah" yang diikuti sejumlah pengusaha, di Surabaya (25/11).

Menurutnya, kementeriannya menemukan ada sejumlah perusahaan yang memiliki izin mengelola limbah tapi tak mau mengelola limbah dengan baik tapi hanya mau menimbun.

Untuk perilaku seperti itu, tegasnya, KLHK tak segan-segan akan mencabut izin usaha sampai perusahaan mau mengelola dengan baik.

Dikatakan, pihaknya tentu tak akan sewenang-wenang mencabut izin usaha karena jika ditemukan kesalahan oleh pengawas maka masih dilakukan pembinaan agar mampu mengelola limbah dengan baik.

"Kita akan memberikan pembinaan dan peringatan terlebih dahulu jadi tak sewenang-wenang mencabut izin usaha," kata Tuti.

Dari hasil penelitian yang dilakukan KLHK, katanya, limbah B3 dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan baku seperti untuk abu terbang, sebagai material beton, material jalan, serta campuran pembuatan batako.

Dikatakan Tuti, pemanfaatan limbah B3 sebagai substitusi bahan baku atau sumber energi dapat mengantisipasi pembuangan limbah secara langsung ke lingkungan dan pemukiman.

"Hal ini tentunya mengurangi dampak pencemaran lingkungan, pemulihan lahan tercemar akibat limbah B3 dapat dikurangi sehingga biaya pengelolaan limbah ditekan sekecil mungkin.

Agar pengusaha semangat dalam mengelola dan memanfaatkan limbah B3, KLHK telah melakukan debirokratisasi melalui Unit Pelayanan Terpadu (UPT) serta penyedarhanaan beberapa persyaratan izin pemanfaatan limbah bahan berbahaya beracun sehingga diharapkan lebih efisien dan tak menghabiskan waktu lama.

"Selama ini yang sering dikeluhkan sejumlah dunia usaha adalah lambannya proses mendapatkan izin pengelolaan limbah termasuk izin pemanfaatan. Mulai saat ini keluhan seperti itu sudah tak ada lagi," kata Tuti Hendrawati Mintarsih.

Menurutnya, upaya debirokratisasi harus dilakukan dengan penyusunan peraturan pelaksanaan sebagai turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah.

Dia mengatakan, beberapa peraturan pelaksanaan pengganti saat ini telah disiapkan dalam bentuk Rancangan Peraturan Menteri KLHK untuk segera dapat diterbitkan.

Kementeriannya, kata Tuti, menjamin mempersingkat pengurusan izin pengelolaan limbah bahan berbahaya beracun agar lebih efektif dan efisien dari lima hari dimungkinkan menjadi sehari.

Tuti menjelaskan, kementeriannya sudah sepakat untuk mengurangi jangka waktu pengurusan dari lima hari menjadi hanya satu hari.

"Tentu dengan catatan segala dokumen yang disyaratkan sudah dipenuhi," kata dia.

Dia menambahkan, jumlah industri di Indonesia makin banyak sejalan dengan majunya perekonomian nasional dan kondisi mengakibatkan volume limbah yang dihasilkan juga makin besar.

Soal adanya pengurusan izin pengelolaan limbah B3 yang berbelit dan lama dibenarkan oleh salah seorang pengusaha tekstil dan produk tekstil Susanto.

Menurutnya, pengalaman dirinya mengurus izin pengelolaan limbah B3 di Kementerian KLHK sangat lama dan berbelit, sehingga dirinya sempat enggan karena dinilai menghabiskan waktu yang tak berguna.

"Kejadiannya sih sudah delapan tahun yang lalu. Walaupun kini perusahaan kita sudah memiliki izin pengelolaan limbah B3 tapi untuk mendapatkan izinnya sangat lama dan berbelit," katanya.

Untuk itu dirinya menyambut baik langkah yang dilakukan KLHK memastikan pengurusan izin pengolahan limbah tak berbelit lagi dan tak perlu ada biaya.

Dengan adanya kemudahan ini diharapkan tak ada lagi alasan bagi pengusaha untuk tidak mengelola dan melaporkan limbah industrinya dengan baik, mengingat segala hal yang selama ini berbelit sudah dihapuskan.

Oleh Ahmad Wijaya
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015