Konflik di Timur Tengah bukan hanya persoalan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) saja namun ada juga konflik antara suni dan syiah. ISIS hanya dijadikan instrumen untuk menciptakan konflik,"
Jakarta (ANTARA News) - Ketua Komisi I DPR, Mahfudz Siddiq meminta pemerintah Indonesia memahami peta konflik yang terjadi di wilayah Timur Tengah sehingga memahami persoalan terorisme di Indonesia secara komprehensif dan bisa melakukan pencegahan meluasnya paham radikal.

"Konflik di Timur Tengah bukan hanya persoalan ISIS (Negara Islam Irak dan Suriah) saja namun ada juga konflik antara suni dan syiah. ISIS hanya dijadikan instrumen untuk menciptakan konflik," katanya di Jakarta, Senin.

Dia mengatakan, peta konflik di tim-teng yang meluas di wilayah Eropa karena bukan hanya persoalan ISIS. Mahfudz mencontohkan bahwa ISIS dalam istilah intelijen merupakan "daerah palsu" yang digunakan kekuatan lain dalam menciptakan konflik.

"Kalau kita lihat wilayah Timur Tengah sebagai episentrum dan Eropa ditarik lebih jauh sehingga sangat mungkin konfliknya diperluas ke Asia Barat, Asia Selatan dan Asia Tenggara di negeri yang mayoritas berpenduduk Islam," ujarnya.

Dia menilai apabila pemerintah Indonesia hanya memahami konflik Timteng sebatas ISIS maka Indonesia belum memiliki peta persoalan yang utuh dan lengkap sehingga terjebak dalam skenario yang dibuat pihak-pihak yang berkepentingan.

Politikus PKS itu menilai kasus di Timteng memiliki aktor dan faktor yang beragam, Indonesia harus mengidentifikasi "tangan tidak terlihat" dalam pusaran konflik tersebut.

"Kalau kita bisa pahami dengan baik dan utuh peta konflik di Timteng bukan hanya ISIS maka kita punya strategi antisipasi dan pencegahan yang lebih tepat di Indonesia," katanya.

Selain itu dia menilai pemerintah Indonesia jangan membiarkan dan memelihara elemen-elemen masyarakat radikal karena bisa membahayakan kedaulatan Indonesia.

Dia mencontohkan ISIS yang awalnya dibiarkan dan dipelihara oleh kepentingan negara-negara tertentu, namun sekarang justru membahayakan bagi negara tersebut.

"Di Indonesia misalnya di Poso, orang teridentifikasi berpaham radikal sebanyak 20 orang namun hingga saat ini belum selesai. Ini menjadi tanda tanya bagi aparat keamanan, intelijen dan BNPT dalam mengatasinya," katanya.

Mahfudz meminta Indonesia tidak mengikuti pola negara-negara lain dalam melihat dan menindaklanjuti kemunculan elemen radikal yaitu membiarkannya serta mempelihara.

Menurut dia, tugas pemerintah, intelijen, Kepolisian, dan BNPT agar mencegah elemen-elemen itu berkembang menjadi sel aktif yang dapat digunakan dan dimanfaatkan ISIS.


(T.I028/

Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015