Jakarta (ANTARA News) - Kuasa hukum Suciwati memutar rekaman pengakuan Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Indra Setiawan, dalam sebuah acara talkshow di televisi swasta, yang menyatakan ada kesalahan manajemen di tubuh maskapai penerbangan nasional itu. Dalam sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis, kuasa hukum Suciwati dari LBH Jakarta mengajukan rekaman berdurasi sepuluh menit itu sebagai barang bukti. Dalam acara talkshow itu, Indra mengaku memang terjadi kelalaian dalam manajemen Garuda karena tanggal surat penugasan Pollycarpus ke Singapura dibuat mundur. Surat penugasan Pollycarpus sebagai pemeriksa keselamatan penerbangan ke Singapura sebenarnya dibuat pada tanggal 15 September 2004, sesudah kepergian Pollycarpus ke Singapura. Namun, surat itu dibuat mundur tanggalnya sehingga tertulis tanggal 4 September 2004. Dalam rekaman itu, Indra mengaku surat itu dibuat mundur tanggalnya guna mempertanggungjawabkan biaya perjalanan Pollycarpus itu. Indra juga mengaku baru mengetahui ada surat penugasan yang dibuat mundur tanggalnya itu setelah atasan Pollycarpus, Ramelgia Anwar, diperiksa oleh pihak kepolisian setelah meninggalnya Munir pada penerbangan menuju Amsterdam. "Saya sebagai Direktur Utama juga kecewa karena hal seperti itu bisa terjadi di Garuda," kata Indra dalam rekaman yang ditayangkan sebuah televisi swasta pada 2004 itu. Namun, Indra membantah keberadaan surat itu ada kaitannya dengan kematian Munir. Ia juga membantah Garuda turut berkonspirasi dalam peristiwa terbunuhnya Munir. Kuasa hukum Suciwati, Chairul Anam, mengatakan dalam rekaman itu terdapat empat hal yang dijadikan bukti bahwa Garuda tidak profesional dalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada penumpangnya. Rekaman wawancara Indra Setiawan itu, kata Anam, dijadikan bukti ketidakprofesionalan Garuda yang justru diakui oleh pihak Garuda sendiri. Kuasa hukum Suciwati juga mengajukan bukti rekaman wawancara Indra Setiawan dengan wartawan Belanda, yang diputar di saluran televisi Australia, SBS. Namun, karena masalah teknis, rekaman itu baru akan diajukan pada sidang berikutnya, 15 Februari 2007. Anam mengatakan, dalam rekaman itu, Indra mengaku bahwa sebagai pemilik Garuda, pemerintah bisa menggunakan Garuda untuk kepentingan negara, termasuk juga untuk kepentingan operasi intejelen. Pengakuan Indra itu, menurut Anam, telah jelas melanggar aturan penerbangan internasional, karena penerbangan sipil tidak boleh digunakan untuk kepentingan apa pun, termasuk kepentingan militer atau operasi intelejen. Suciwati menggugat secara perdata manajemen Garuda dan sebelas pejabat dan karyawannya, yaitu mantan Direktur Utama PT Garuda, Indra Setiawan, Direktorat Strategi dan Umum Ramelgia Anwar, Flight Support Officer Rohainil Aini, Pollycarpus Budihari Priyanto, serta enam awak pesawat GA-974 rute Jakarta-Singapura yang ditumpangi Munir pada 6 September 2004. Dalam gugatannya, Suciwati menyatakan para tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak menjaga keselamatan, keamanan, dan kenyamanan Munir selama penerbangan, yang seharusnya menjadi tanggung jawab penuh para terdakwa. Para tergugat diminta untuk membayar kerugian yang dialami oleh Suciwati sebesar Rp14,329 miliar, yang terdiri atas kerugian immateriil sebesar Rp9.000.700.400 yang diambil dari nomor penerbangan GA-974, kerugian materiil sebesar Rp4,028 miliar, serta jasa pengacara sebesar Rp1,3 miliar.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007