Ini masih `paket hemat`, belum (yang) paket jumbo, nilainya Rp200 juta
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi III DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu melaporkan Direktur Utama PT Pelindo II (Persero) Richard Joost (RJ) Lino ke KPK karena diduga menghadiahi barang kepada Menteri BUMN Rini Soemarno.

"Saya mau menyampaikan klarifikasi ke KPK perihal dugaan penerimaan gratifikasi dari Dirut Pelindo ke Menteri BUMN dalam bentuk barang. Barang itu perabotan rumah. Dokumennya lengkap di sini," kata Masinton saat tiba di kantor KPK di Jakarta sekitar pukul 11.00 WIB, Selasa.

Masinton datang sendiri membawa sejumlah dokumen.

"Ini masih paket hemat, belum (yang) paket jumbo, nilainya Rp200 juta," tambah Masinton.

Masinton tidak menyampaikan untuk apa pemberian perabot itu.

"Kita minta klarifikasinya tentang informasi dan data ini berkaitan dengan apa. Saya tidak tahu (tujuan pemberiannya) tapi yang jelas UU Tindak Pidana Korupsi (menyebutkan) penyelenggara negara, PNS, tidak boleh memberi atau menerima. Ini pemberinya jelas Dirut Pelindo, yang menerima jelas diberikan ke Menteri BUMN, sesuai dengan di dokumen ini," ungkap Masinton.

Masinton tegas menyebutkan nama menteri dan dirut Pelindo dalam laporannya ini.

"Kalau ini datanya Maret 2015, Dirut Pelindonya itu sampai sekarang masih Raja Lino!. Menteri BUMN-nya Rini Soemarno," tambah Masinton.

Pada saat yang bersamaan, Serikat Pekerja Jakarta International Container (JICT) juga berdemonstrasi ke KPK untuk melaporkan dugaan korupsi perpanjangan konsesi JICT oleh pelindo II kepada Hutchinson Port Holding (HPH).

"(Kami) melaporkan adanya indikasi tindak kecurangan dalam perpanjangan konsesi JICT. Kami melihat bahwa perpanjangan ini tidak mengikuti UU yang ada. UU No 17 tahun 2008 itu menyatakan konsesi ini harus dilakukan dengan izin dari Kementerian Perhubungan via otoritas pelabuhan," kata Ketua Serikat Pekerja JICT Nofa Sofyan.

Menurut Serikat pekerja, harga JICT setara 854 juta dolar AS namun uang pembelian dari HPH hanya 215 juta dolar AS sehingga hanya memegang 21 persen saham, bukan 49 persen seperti selama ini dusulkan RJ Lino. Jika dipaksakan saham menjadi 49 persen maka ada kerugian negara sekitar 212 juta dolar AS atau sekitar Rp3 triliun.

"Karena ada perbedaan 200 juta dolar AS lebih untuk masalah. Ini jumlah yang cukup besar menurut kami. Penjualan JICT sendiri sekarang hanya dua kali keuntungan JITC sendiri. Jadi dua tahun keuntungan JITC itu setara dengan penjualan JITC saat ini," tambah Nova.

Nova juga menuduh RJ Lino menerima gratifikasi cendera mata senilai Rp50 juta dari Managing Director Hutchison Canning Fok di Hongkong pada 25 Juni 2015.

KPK belum menyidik dugaan tindak pidana korupsi pada PT Pelindo II (Persero) meski mengaku menerima pengaduan dan sedang mengumpulkan bahan dan keterangan mengenai laporan itu.

Menurut Plt Wakil Ketua KPK Johan Budi, laporan pengaduan yang diterima KPK berbeda dari kasus yang sedang diusut Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri yang pada 28 Agustus 2015 menggeledah kantor Pelindo II di Tanjung Priok, Jakarta Utara.

Berdasarkan Laporan Polisi Nomor LP-A/1000VIII/2015/BARESKRIM/Tanggal 27 Agustus 2015, semestinya "mobile crane" yang dipesan 2012 dengan anggaran senilai Rp45 miliar itu dikirimkan ke sejumlah pelabuhan seperti Bengkulu, Jambi, Teluk Bayur, Palembang, Banten, Panjang dan Pontianak.

Ternyata sampai saat ini, "mobile crane" ini belum dikirim dan setelah diselidiki ternyata pelabuhan tersebut tidak membutuhkan barang itu sehingga menimbulkan dugaan korupsi senilai Rp63,5 miliar.

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015