Harus sayang dan cinta dunia tulis menulis karena cinta akan membuat kita terus berkarya...
Jakarta (ANTARA News) - Empat dekade telah terlewati sejak cerpen "Benteng Kasih" Mira W dimuat di majalah Femina pada 1975.

Selama empat puluh tahun, buku penulis novel roman bernama lengkap Mira Widjaja (Wong) itu berderet di rak toko-toko buku besar.

Kini, saat usianya menginjak 64 tahun, perempuan penulis itu telah melahirkan 82 karya, meliputi 75 novel dan tujuh kumpulan novelet serta cerpen. Semuanya dianggap Mira seperti anak kandung sendiri. Tidak ada pilih kasih, semua merupakan favoritnya.

Dan dia tak berhenti berkarya. Ide-ide tulisan masih mengalir.

"Ide selalu mengalir, tidak pernah kering, berkat para pasien, mahasiswa dan penggemar saya," ujar Mira, dosen di Universitas Prof. Dr. Moestopo yang juga praktik sebagai dokter di Klinik Karyawan dan Mahasiswa.

Ide yang datang selalu segar, tak pernah sama dengan kisah-kisahnya yang terdahulu.

Kendati demikian, ide tersebut tak melulu terwujud sempurna dan memuaskan Mira. Saat dia merasa menghadapi jalan buntu dan merasa jenuh menulis, ide cemerlang sekalipun bisa gagal dieksekusi menjadi cerita bagus.

Ketika itu terjadi, Mira memilih beristirahat dan tidak memaksakan diri. Sejenak, dia akan menjauhkan diri dari dunia tulis menulis sampai suasana hati berkreasi timbul kembali. Apalagi, dia memang punya kesibukan lain, baik sebagai dosen mau pun dokter.

Itu sebabnya dalam empat dekade ada waktu-waktu tertentu saat Mira sama sekali tidak mengeluarkan karya.

Sebaliknya, bila ide sedang mengalir lancar dan suasana hati sedang bagus, bisa saja dalam setahun dia menghasilkan beberapa judul sekaligus.

"Biasanya saya membutuhkan dua sampai tiga bulan untuk menulis satu buku," jelas perempuan keturunan Tionghoa itu.

Kadang ada tulisan tak selesai yang berakhir dalam arsip simpanan karena Mira merasa tidak suka dengan naskah yang buatannya. Jumlahnya tidak banyak, hanya tiga atau empat. Tetapi, Mira tidak mau memaksakan diri menyelesaikannya bila dia tidak merasa sreg dengan tulisannya.

"Kalau saya saja tidak suka, bagaimana dengan yang baca?" tanya dia retorik.

Bagi penulis kelahiran 13 September 1951 itu, menulis bukanlah pekerjaan, melainkan hobi.

Sesibuk apa pun kegiatannya, selalu ada waktu yang sempat diluangkan untuk menulis.

Istilah membagi waktu tak ada dalam kamus Mira. Karena pasti ada waktu untuk hal yang dicintai, ucap dia.

Perempuan paruh baya itu mengaku sempat ingin pensiun sebagai novelis. Apalagi sudah banyak penulis muda berbakat yang muncul di Tanah Air. Dia merasa sudah cukup lama berkarya dan ingin memberikan ruang bagi orang lain.

"Tapi saya tidak bisa berhenti karena ini hobi," kata novelis yang menggunakan mesin tik hingga 1988 sebelum akhirnya menulis menggunakan komputer.

Mira juga tidak punya ritual khusus dalam menulis. Dia bisa menuangkan ide di mana dan kapan saja, meski biasanya aktivitas itu baru bisa dilakukan pada malam hari ketika senggang.

Bagian paling sulit dalam menulis, menurut dia, adalah menentukan judul yang tepat. Salah satu ciri khas dari tulisan Mira W adalah judul-judul yang puitis. Mira biasanya baru mencari judul yang tepat setelah menyelesaikan tulisan.

"Biasanya itu yang paling sulit," ujar dia.

Dari sekian banyak judul, ada beberapa yang menjadi favorit Mira, di antaranya "Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi", "Ketika Cinta Harus Memilih" dan "Merpati Tak Pernah Ingkar Janji".


Tetap modern


Ketika mengadakan jumpa penggemar, orang-orang yang mengantre untuk mendapat tanda tangannya punya rentang usia yang luas, mulai dari remaja hingga paruh baya.

Orang-orang berusia paruh baya biasanya mengikuti perkembangan novel Mira sesuai umur mereka, sementara generasi yang lebih muda biasanya mulai terpikat karena membaca koleksi buku milik kakak atau ibu mereka.

Meski cerita Mira ditujukan untuk segmen pembaca dewasa, untaian kata yang disusun Mira rupanya juga menarik hati berbagai generasi.

Dan Mira memang yakin karyanya dapat dinikmati pembaca dari berbagai generasi meski zaman telah berkembang.

"Tidak saya khawatirkan karena apa yang saya tulis adalah cerita yang manusiawi, seperti cinta," ujar dia.

Kisah cinta tak pernah lekang dimakan waktu sehingga bisa terasa relevan meski puluhan tahun telah berlalu.

Selain itu, Mira mengatakan penggambaran tokoh perempuannya tidak banyak berubah. Karakter perempuan yang dia tulis sejak dulu mirip dengan perempuan masa kini.

"Saya merasa tokoh-tokoh wanita sekarang lebih tangguh dan karakter yang saya tulis memang seperti itu," ungkap dia.

Perkembangan zaman yang mempengaruhi cara menulis adalah teknologi yang memudahkannya dalam riset, seperti mendalami tempat yang menjadi latar belakang cerita.

Kebanyakan tempat memang harus didatanginya terlebih dahulu agar dapat memberikan deskripsi mendalam saat menulis cerita.

Namun, ada beberapa tempat yang hanya dia telusuri lewat dunia maya karena belum sempat menginjakkan kaki ke sana.

"Dulu lebih sulit, sekarang ada Google. Tapi biasanya saya datang dan menggali ke situ, tetap harus datang dan meraba serta merasakannya," jelas penggemar Sidney Sheldon itu.

Misalnya novel baru "Sisi Gelap Cinta" yang salah satu latar belakangnya adalah Lembah Baliem di Papua. Mira pernah menginjakkan kaki di tanah Papua beberapa tahun silam, meski baru di Raja Ampat.


Adaptasi film baru


Sebagian karya Mira telah  diadaptasi ke layar lebar dan layar kaca yang dibintangi oleh aktor dan aktris terkemuka pada zamannya. Sebut saja "Di Sini Cinta Pertama Kali Bersemi" yang dihidupkan lewat akting Dina Mariana dan Chris Salam pada 1980.

Novel "Seandainya Aku Bisa Memilih" diadaptasi ke layar kaca dengan judul "Cinta", dibintangi Desy Ratnasari, Primus Yustisio dan Atalarik Syah.

"Cinta" dinobatkan sebagai salah satu sinetron dengan rating tertinggi pada 1990an juga mendapatkan Panasonic Award pada 1999.

Lalu ada Widyawati dan Rano Karno yang berperan dalam film "Masih Ada Kereta Yang Akan Lewat", yang diangkat dari novel Mira W dan mendapat Piala Antemas sebagai film terlaris tahun 1988.

Judul yang disebut terakhir akan dibuat kembali dalam adaptasi film yang rencananya mulai syuting pada 2016.

"Saya berharap akan sesukses film pertamanya," kata Mira, menambahkan dirinya akan ikut turun tangan berdiskusi bersama produser memilih pemeran yang tepat.

Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015