Makassar (ANTARA News) - Pengadilan Tinggi Makassar mengabulkan permohonan jaksa penuntut umum kasus korupsi pembangunan gedung dan pengadaan laboratorium Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK) Universitas Negeri Makassar (UNM) yang memvonis Syatir Mahmud enam tahun penjara.

"Hakim Pengadilan Tinggi mengabulkan permohonan banding Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hukumannya dikembalikan sesuai dengan tuntutan sebelumnya," ujar Kepala Seksi Penuntutan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulselbar Muhammad Ahsan Thamrin di Makassar, Minggu.

Syatir yang mantan Kepala Biro Administrasi Umum dan Keuangan (BAUK) Universitas Negeri Makassar (UNM), oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Makassar sebelumnya hanya divonis selama tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsider tiga bulan kurungan.

Menurut Ahsan, putusan sudah sesuai dengan apa yang diinginkan oleh jaksa penuntut. Ahsan menuturkan akan segera mengeksekusi putusan tersebut.

"Kalau terdakwa tidak kasasi, putusan itu akan kami eksekusi," kata Akhsan.

Syatir dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dalam kasus pengadaan alat olahraga di Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas Negeri Makassar.

Syatir terbukti melanggar pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dia dinilai telah menyalahgunakan wewenangnya selaku pejabat pembuat komitmen.

Majelis hakim dalam putusannya menyatakan, terdakwa selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) telah melakukan penyalahgunakan wewenang dengan menguntungkan diri sendiri.

Bukan cuma itu, terdakwa juga menguntungkan orang lain atau suatu korporasi serta turut melakukan korupsi secara berlanjut sehingga mengakibatkan adanya kerugian negara.

Hakim dalam putusannya menyatakan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi dan melanggar Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

"Terdakwa melanggar Pasal 3 Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi," katanya.

Dalam putusan juga dijelaskan bahwa terdakwa telah melanggar Perpres Nomor 54 tahun 2010, pasal 22 ayat (3) hutuf d, sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 35 tahun 2011 (perubahan pertama.

Kemudian Perpres Nomor 70 tahun 2012 (perubahan kedua), tentang pengadaan barang dan jasa wajib untuk memuat uraian kegiatan yang akan dilaksanakan sesuai waktu pelaksanaan yang diperlukan serta melampirkan juga spesifikasi teknis barang dan jasa yang akan diadakan beserta besarnya total perkiraan biaya pekerjaan.

Namun dalam proyek tersebut tidak pernah ada harga perkiraan sementara (HPS), justru HPS yang diajukan telah direkayasa berdasarkan harga barang dari pihak distributor.

Pewarta: Muh Hasanuddin
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015