Jakarta (ANTARA News) - Majelis Permusyawaratan Rakyat pada hari ini menggelar seminar untuk membahas antisipasi sengketa pilkada serentak bertema "Mencari Format Ideal Penanganan Sengketa Pemilihan Umum Kepala Daerah Implementasi Pelaksanaan Paham Demokrasi Konstitusional".

Dalam seminar hasil kerja sama dengan Universitas Sultan Agung Tirtayasa di Banten ini, Pimpinan Fraksi PAN MPR, Ali Taher, mengatakan bahwa empat tahap perubahan terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 selama kurun 1999-2002 sudah banyak menyunat kekuasaan yang ada pada presiden.

Melalui siaran pers MPR, ia mengatakan bahwa sebelumnya presiden memiliki enam kekuasaan penting, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, yudikatif, militer, luar negeri dan administrasi kenegaraan.

Namun, sejak amandemen, enam kekuasaan presiden itu mulai dipisahkan, sesuai Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945. Sejak saat itu perangkat negara pun mengalami perubahan. Pada saat yang sama kekuasaan sosial menjadi lebih kuat dari sebelumnya, sementara kekuasaan negara malah berkurang.

Selain Ali Taher, seminar tersebut juga menghadirkan dua narasumber yang lain, yaitu Kepala Defisi Teknis KPU Provinsi Banten, Syaeful Bahri, serta Dosen Fisip Untirta Leo Agustino. Selain itu turut hadir Pimpinan F Partai Gerindra MPR, Martin Hutabarat dan Rektor Untirta Sholeh Hidayat.

Salah satu bukti menguatnya peran sosial pasca-amandemen UUD 1945, menurut Ali Taher, adalah munculnya putra-putra daerah dalam bursa bakal calon kepala daerah. Juga kemampuan masyarakat dalam menentukan  pemimpinnya melalui pemilihan kepala daerah.

"Dulu, sebelum amandemen UUD, kondisi seperti itu nyaris tidak mungkin terjadi karena kelompok sosial selalu ditekan negara, dan praktis tidak memiliki peluang untuk menyalurkan potensi pilitiknya," katanya

Sementara Syaeful Bahri mengakui bahwa pelaksanaan pilkada serentak memunculkan kemungkinan lahirnya sengketa. Bahkan,  sengketa tersebut sudah mulai tercium pada tahap pendaftaran calon kepala daerah di Komisi Pemilihan Umum.

Menurut Syaeful, pihak KPU sudah menemukan beberapa kasus yang berpotensi memunculkan sengketa. Antara lain, adanya perbedaan calon yang diusung. Terutama antara pimpinan pusat partai dengan pimpinan daerahnya.

Sehingga di beberapa daerah ditemukan, seorang calon tidak bisa memperlihatkan bukti tandatangan dan  dukungan pimpinan pusat parpol yang mengusungnya. "Ada sekitar lima persen dari keseluruhan pelaksanaan pilkada serentak yang berpotensi menimbulkan sengketa pada saat pendaftaran calon kepala daerah", kata Syaeful menambahkan.

Agar pilkada serentak bisa berjalan dengan baik, Syaeful berharap, tiga aktor dalam pelaksanaan pilkada harus berlaku dengan baik sesuai perundangan. Ketiganya adalah peserta, penyelenggara dan masyarakat.

Sedangkan Leo Agustino berharap, MPR  melakukan sinkronisasi atas UU dan peraturan pilkada karena masih ada aturan dalam pemilukada yang tumpang tindih. Selain itu, seluruh kontestas harus bisa bersaing secara adil dan merata.

"Ini harus diperhatikan agar pilkada serentak mendatang bisa berjalan lancar, tanpa meninggalkan banyak sengketa. Semua kontestan juga harus siap menang siap kalah," ucapnya.

Pewarta: Try Reza Essra
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015