Jakarta (ANTARA News) - Pengamat otomotif nasional Wisnu Guntoro mengatakan Indonesia masih sulit mewujudkan program mobil nasional karena sudah tertinggal di bidang teknologi dan investasi dari negara produsen kendaraan.

"Secara optimistis, Indonesia mungkin bisa saja bikin mobil tapi dengan berdarah-darah dan pemerintah akan menanggung beban yang berat," kata Wisnu Guntoro dalam diskusi "Menakar Janji Manis Industri Otomotif" yang diselenggarakan Forum Wartawan Otomotif (Forwot) di Jakarta, Rabu.

Wisnu menjelaskan untuk menciptakan mobil nasional dibutuhkan teknologi berbiaya besar, hak paten produk, dan kualitas barang yang menyamai produk asing yang sudah dikenal masyarakat Indonesia. Hal itu belum termasuk investasi di bidang pembuatan mesin dan cetak bodi kendaraan.

"Standar orang Indonesia sudah tinggi. Sejak tahun 60 udah kenal Mercedes, tahun 70 kenal Toyota dan mobil asal Amerika. Bisakah mobil nasional bersanding dengan mobil yang standarnya seperti itu?," ujar Wisnu.

Wisnu menyarankan pemerintah mulai membangun sikap cinta produk sendiri jika ingin memulai proyek mobil nasional seperti yang dilakukan Tiongkok dan India.

Selain itu, jika pemerintah berniat untuk membangun mobil nasional harus dimulai dengan membangun laboratorium yang membahas sketsa kendaraan dalam berbagai model.

"Pemerintah tidak perlu gembar-gembor bikin mobil, tirulah Korea yang sejak 25 tahun lalu programkan sekolah desain. Akhirnya desain mobil-mobil Korea adalah yang terbagus untuk saat ini," imbuh pemimpin redaksi media otomotif Dapur Pacu itu.

Salah persepsi

Wisnu Guntoro menilai adanya kesalahan persepsi mengenai definisi mobil nasional dengan mobil yang dirakit di dalam negeri.

"Itu kesalahan. Apa perbedaan mobil produksi dengan mobil rakitan? Banyak APM (agen pemegang merek) memberikan suku cadang ke sekolah kejuruan untuk dirakit, itu sudah sejak tahun 70-an," katanya mengingatkan mobil buatan sekolah kejuruan di Solo, Jawa Tengah, beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan mobil tersebut adalah rakitan sementara mobil nasional seperti yang pernah dilakukan oleh Timor dan Bimantara dengan investasi yang besar.

"Kemungkinan mobil itu merakit parts dari Tiongkok karena harganya murah, itu berarti rakitan," tuturnya.

Wisnu mempertanyakan di mana pembuat mobil itu mencetak bodi, hak paten teknologi, alat cetak mesin dan sejumlah bagian yang membutuhkan biaya yang sangat besar.

Ia menyesalkan jika mobil nasional ternyata dijadikan isu politik guna meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap suatu pemberitaan.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, juga mempertanyakan persepsi pemerintah mengenai mobil nasional.

"Mungkin dia (Joko Wododo) kala itu tidak paham dengan mobil nasional," kata Hendri Satrio dalam diskusi itu.

Hendri mengatakan sampai saat ini pemerintah melalui Kementerian Perindustrian juga belum menujukan perencanaan jelas terkait indsutri mobil nasional seperti yang pernah ramai diberitakan.

"Jangan seperti (mobil) SMK yang hanya menjadi jargon tapi tidak jadi apa-apa," kata Hendri.

Hendri menyarankan jika pemerintah serius mewujudkan Nawacita di bidang meningkatkan produktivitas rakyat maka sektor industri besar harus dijaga sambil menumbuhkan kembali industri mesin untuk niaga.

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015