Jakarta (ANTARA News) - Di antara beberapa lokasi yang mengemuka sebagai pengganti Pelabuhan Cilamaya, misalnya Bojanegara, Banten, dan Indramayu, Cirebon dianggap paling ideal, kata seorang peneliti.

Peneliti dari Lembaga Pengkajian, Penelitian, dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Profesor Ina Primiana, di Jakarta, Senin, mengatakan, Cirebon sebagai pelabuhan mampu menekan biaya logistik, serta mendukung pengembangan wilayah industri ke arah timur, karena, saat ini mulai dilakukan relokasi.

"Jika Cirebon dijadikan pengganti Cilamaya, maka akan mendukung pengembangan industri tersebut. Ke arah barat tetap dilayani Tanjung Priok, sedangkan arah timur oleh Cirebon," katanya.

Menurut dia, pembagian beban tersebut juga sangat mendesak, karena di Jawa Barat hingga kini belum terdapat pelabuhan untuk kebutuhan ekspor impor sehingga kondisi ini sangat ironis, karena 50 persen industri nasional berada di itu. 

Dengan adanya relokasi industri ke arah timur, lanjut Ina, akan semakin memperjelas bahwa memang perlu distribusi beban karena Tanjung Priok yang selama ini sudah kelebihan beban.

Selain mendukung pengembangan industri ke timur, keberadaan Pelabuhan Cirebon juga bisa dan menekan biaya logistik dan menurunkan biaya perawatan jalan pantai utara.

"Tentu saja ini menguntungkan, karena jalur pantura dikenal kerap mengalami kerusakan karena harus menanggung beban yang tidak sedikit," katanya.

Menurut Ina, ada beberapa faktor yang membuat Cirebon dinilai paling ideal, yang paling utama karena sudah terdapat pelabuhan, sehingga untuk pengembangan bertaraf internasional tidak perlu dimulai dari nol.

Yang diperlukan hanya pengembangan dan pendalaman saja, tambahnya, sehingga anggaran yang dibutuhkan juga tidak terlalu besar.

"Dengan pengembangan tersebut, realisasi pembangunan juga bisa dipercepat tanpa perlu menunggu hingga 2023," katanya.

Selain itu, karena Cirebon juga didukung moda lain, yakni akses jalan tol yang luas di Cirebon, sudah terdapat jalur kereta api serta, akan dibangunnya bandara internasional Kertajati.

"Dengan moda pendukung tersebut, selain akses lebih lancar, biaya juga logistik juga bisa ditekan," kata Ina, yang juga guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran Bandung.

Sementara pengamat politik, Arbi Sanit, mendesak, agar pemerintah segera memutuskan pengganti Cilamaya, sehingga tidak akan ada kesan proyek itu pesanan partai politik tertentu, dan juga untuk menghilangkan kesan bahwa pemerintah tidak kompak dan tidak tegas.

"Entah itu Cirebon atau lokasi manapun, yang penting keputusan harus diambil sesegera mungkin," lanjutnya.

Jika dibiarkan berlarut-larut, kondisi tersebut dikhawatirkan bisa menurunkan wibawa pemerintah, karena semakin lama dibiarkan, akan lebih membuka kesempatan bagi pihak lain untuk melakukan pendomplengan politik terhadap rencana pembangunan pelabuhan itu.

"Bahkan tidak hanya itu, namun akan memunculkan para spekulan tanah di daerah yang selama ini sudah disebut-sebut sebagai pengganti Cilamaya. Maka kalau perlu, tidak usah disebarluaskan lokasi yang direncanakan, namun segera saja diputuskan," kata Arbi.

Begitupun Arbi setuju bahwa pemerintah harus meminimalisasi risiko yang mungkin terjadi sehingga tidak akan ada lagi resistensi di masyarakat sebagaimana terjadi dengan Cilamaya.

"Dulu ditentang antara lain karena bersinggungan dengan pipa gas Pertamina. Sekarang, pemerintah harus menghindari itu," ujarnya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015