Peran perempuan belum maksimal. Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Tanah Air hanya sekitar 12,8 persen. Dengan persentase seperti itu, sulit tampil untuk menjadi pemimpin,"
Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VIII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Itet Tridjajati Sumarijanto mengatakan peran perempuan masih belum maksimal meskipun sudah berada pada alam demokrasi.

"Peran perempuan belum maksimal. Persentase Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Tanah Air hanya sekitar 12,8 persen. Dengan persentase seperti itu, sulit tampil untuk menjadi pemimpin," ujar Itet di Jakarta, Selasa.

Itet menjelaskan hingga saat ini, perempuan yang baru tampil sebagai presiden baru Megawati Soekarnoputri yang saat ini menjabat Ketua Umum Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu.

Begitu juga di parlemen, keterwakilan perempuan di parlemen hasil pemilu legislatif 2014 makin turun, yang mana hanya mencapai 97 orang atau 17,3 persen dibandingkan pada pemilu 2009 sebanyak 103 orang atau 18.4 persen dari 560 jumlah anggota DPR yang ada.

"Ada kesalahan persepsi, mengenai keterwakilan perempuan 30 persen, banyak yang mengartikan itu persentase calon legislatif. Seharusnya keterwakilan perempuan di parlemen," jelas politisi PDIP.

Penyebab utamanya, sambung dia, sistem Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang menerapkan suara terbanyak. Hal itu menyulitkan perempuan karena memerlukan dana yang cukup besar agar bisa melenggang ke Senayan.

"Suami juga harus memegang peranan mendorong istrinya untuk maju," katanya.

Itet mengenang dirinya yang maju sebagai legislator karena dorongan suami. Suaminya melihat Itet memiliki potensi dalam mengorganisasi massa. Saat itu, Itet menjabat sebagai Ketua RT di lingkungan tempat tinggalnya.

Awalnya Itet menolak, karena stigma anggota DPR itu kurang baik. Namun pandangannya berubah karena melalui peran di parlemen dapat ikut serta menata negara.

"Perempuan harus masuk dulu di parlemen, karena di sini tempat pembuat kebijakan dan Undang-undang," papar Itet yang berasal dari Dapil Lampung II itu.

Tapi sayangnya, banyak perempuan cerdas enggan berpolitik, karena kurangnya dorongan dari suami dan rasa malu.

"Solusinya adalah partai politik harus memberikan pendidikan politik bagi perempuan, agar perempuan bisa ikut serta membangun bangsa," tegas dia.

Dengan pendidikan politik yang diberikan parpol, maka keberadaan perempuan tidak hanya jadi pelengkap di parlemen dan perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan pun tidak sia-sia.

Pewarta: Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015