Itu temuan berulang, terutama yang sulit `tax treaty`, karena itu sudah fix antarnegara. Kalau ada perusahaan minyak menggunakan `tax treaty`, Kementerian ESDM harus segera mengubah aturan soal bagi hasil,"
Jakarta (ANTARA News) - Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengklaim masalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas yang belum sesuai potensinya, seperti yang dilaporkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), merupakan kasus temuan yang berulang.

"Itu temuan berulang, terutama yang sulit tax treaty, karena itu sudah fix antarnegara. Kalau ada perusahaan minyak menggunakan tax treaty, Kementerian ESDM harus segera mengubah aturan soal bagi hasil," ujarnya di Jakarta, Rabu.

Bambang menjelaskan masih ada perusahaan minyak atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang belum menggunakan aturan terbaru soal dana bagi hasil pajak bumi dan bangunan, terkait persetujuan daerah wilayah kerja.

"Itu sudah diminta dari dulu, tapi tak pernah dilakukan, sehingga perusahaan minyak masih menggunakan tax treaty dengan kontrak lama, pasti ada selisih," katanya.

Sebelumnya, Badan Pemeriksa Keuangan melalui penyampaian Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2014, menyatakan telah menemukan masalah penerimaan pajak dari sektor minyak dan gas senilai Rp1,12 triliun.

Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Harry Azhar Azis mengatakan masalah penerimaan pajak tersebut terdiri dari potensi pajak bumi dan bangunan (PBB) sektor migas terutang dengan besaran minimal Rp666,23 miliar.

"Ini karena 59 Kontraktor kontrak kerja sama tidak menyampaikan surat pemberitahuan objek pajak PBB migas sepanjang 2013 dan 2014," kata dia.

Selain potensi PBB terutang tersebut, kata Harry, BPK juga menemukan potensi kekurangan penerimaan PBB migas senilai Rp454,38 miliar.

Potensi kekurangan penerimaan itu, terkait dengan Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang tidak menetapkan PBB Migas terhadap kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang belum mendapat persetujuan terminasi atas wilayah kerjanya.

Harry mengatakan terdapatnya potensi penerimaan negara dari migas yang tidak tergali optimal ini juga disebabkan belum adanya titik temu antara Kementerian Keuangan dan KKKS mengenai penetapan dan ketentuan penetapan PBB migas.

"Karena itu kami nilai masih ada potensi kekurangan penerimaan. Kami minta proyek migas ini harus dilakukan cermat antara Kemenkeu dan KKKS," kata dia.

Harry mengatakan jumlah dua potensi kekurangan penerimaan tersebut masih dalam perkiraan "minimal" karena pemeriksaan yang dilakukan BPK masih bersifat pemeriksaan terbatas.

Selain itu, kata Harry, BPK juga menemukan ketidakpatuhan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) terhadap ketentuan "cost recovery" yang mengakibatkan kekurangan penerimaan negara senilai Rp6,19 triliun.

Pewarta: Satyagraha
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015