Jakarta (ANTARA News) - Komisi VII DPR berjanji akan bertemu Komisi V untuk membicarakan kelanjutan proyek Pelabuhan Cilamaya di Karawang Utara, Jawa Barat, yang berdampak sistemik bagi lingkungan, energi, serta nasib para nelayan dan petani sekitar.

"Nanti kita akan coba bicara dengan Komisi V yang mana masih berada dalam satu atap DPR yang memang terkait langsung dengan perhubungan," kata Ketua Komisi VII Kardaya Warnika dalam diskusi yang bertajuk "Pelabuhan Cilamaya untuk Siapa" di Jakarta, Selasa.

Menurut dia, diperlukan pembicaraan yang holistik antara pemangku kepentingan terkait rencana pembangunan pelabuhan yang masih kontroversial itu.

"Pemerintah harus berpikir secara holistik untuk Pelabuhan Cilamaya, jangan sampai pelabuhannya jadi, tapi hal-hal lain yang lebih fundamental, seperti energi dan nasib para nelayan serta petani terbengkalai," katanya.

Dia juga mengatakan akan melakukan pembicaraan dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait operasi PT Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (ONWJ) yang harus dihentikan apabila pelabuhan tersebut jadi dibangun karena mengancam keselamatan baik pekerja maupun masyarakat.

"Kita punya mitra Kementerian ESDM yang bisa diajak bicara, jangan Pertamina terus yang menghadapi Kementerian Perhubungan," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Media Pertamina Adiatma Sardjito mengatakan bahwa apabila pelabuhan Cilamaya dibangun, maka akan mengorbankan 40.000 barel minyak per hari dan gas 200 juta kubik feet per hari (MMSCFD).

Artinya, lanjut dia, pemasukan APBN akan berkurang Rp21 triliun per tahunnya jika ONWJ ditutup.

"Di bawah laut itu, ada pipa migas 1.900 kilometer atau tiga kali jarak Jakarta-Surabaya, terbayang bagaimana ruwetnya dan kalau terbakar susah matinya," katanya.

Selain itu, menurut Adiatma jika ONWJ dihentikan, maka akan menghentikan pasokan gas ke Pupuk Kujang, Kilang Minyak Balongan, industri keramik serta PLN yang melayani Jakarta dan sekitarnya.

Dia meluruskan bahwa pihaknya bukan tidak mendukung pelabuhan Cilamaya dibangun, namun ia meminta agar lokasinya digeser sejauh lebih dari tiga kilometer.

Sementara itu, warga Cilamaya yang turut hadir dalam diskusi tersebut mengaku sangat keberatan dengan proyek yang disebut-sebut sangat diminati Jepang.

Ketua Kelompok Tani Cilamaya Kulon Ahmad Atoilah mendesak DPR harus mengupayakan nasib petani dan nelayan yang terancam di kawasan tersebut.

"Saya maunya ayo kita bergerak, bukan hanya diskusi. Sebetulnya masyarakat Jakarta ini sudah tahu dampaknya, tapi praktik di lapangan enggak ada, sementara Jepang sudah turun dari dulu ke lapangan," katanya.

Nelayan di Cilamaya, Masnuhi mengatakan di sekitar tempat yang akan dibangun pelabuhan tersimpan kekayaan alam, terumbu karang yang terancam akan hancur apabila pelabuhan jadi dibangun.

"Semua membicarakan aset, padahal aset terpenting negara adalah warga negaranya, manusia, kita-kita ini," katanya.

Namun, Kementerian Perhubungan akan tetap melanjutkan proyek senilai Rp34,5 triliun itu.

Berdasarkan hasil riset yang dilakukan konsultan Jepang, Japan International Cooperation Agency (JICA), dengan adanya pelabuhan Cilamaya bisa menurunkan biaya logistik karena jarak ke Tanjung Priok lebih jauh 70 kilometer dibanding Cilamaya hanya 30 kilomter ke pusat industri di Karawang.

Dengan demikian, bisa mengurangi kemacetan karena volume kendaraan yang melintas Jabodetabek akan menurun, sehingga bisa mengurangi konsumsi BBM bersubsidi.

Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015