Jakarta (ANTARA News) - Sistem kontrak yang akan dirumuskan dalam RUU Migas baru masih menjadi polemik bagi beberapa pihak baik itu pemerintah, DPR, maupun LSM.

Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika di Jakarta, Rabu, menyatakan sebaiknya RUU Migas tersebut jangan membatasi hanya pada satu jenis sistem kontrak saja mengingat tiap jenis kontrak memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing.

"Baik PSC, royalty and tax, ataupun service contract semuanya bisa digunakan, yang paling penting sistem kontrak yang digunakan harus memprioritaskan kepentingan negara," ujarnya.

Production Sharing Contract (PSC), menurut dia, akan baik digunakan di lapangan migas yang memiliki risiko tinggi atau yang belum terjamah. Sedangkan di lapangan migas yang risikonya rendah, seperti Blok Mahakam, jangan menggunakan PSC karena akan merugikan negara.

Sependapat dengan Kardaya, anggota Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Fahmy Radhi mengatakan bahwa kontrak migas tidak boleh digeneralisir dengan hanya menggunakan sistem PSC mengingat karakteristik lahan migas yang berbeda-beda dengan tingkat risiko yang berbeda pula.

"Apakah bentuknya PSC, royalty and tax, atau yang lainnya, harus disesuaikan dengan karakteristik lahan migas," ujar dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada itu.

Pendapat berbeda terdengar dari Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara yang cenderung memilih PSC untuk diterapkan di Indonesia.

"Saya cenderung memilih PSC karena kalau menggunakan service contract untuk daerah yang mudah akan merugikan negara, sedangkan untuk daerah yang sulit jika dipaksa memakai service contract pasti tidak ada investor yang berminat," ujarnya.

Sistem "service contract", menurut dia, lebih cocok diterapkan di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi karena di sana sumber migasnya sebagian besar berada di darat, didukung dengan reservoir berkapasitas miliaran barel sehingga biaya produksinya relatif rendah.

"Kalau di Indonesia kan sumber minyaknya terletak di mana-mana, ada yang di darat, tapi ada juga yang terletak dalam sekali di bawah laut," katanya.

Sedangkan sistem "royalty and tax", tuturnya, hanya cocok diterapkan oleh negara-negara maju. Sistem tersebut juga telah terbukti tidak bisa menjadi solusi pengelolaan migas yang baik di Indonesia.

"Misalnya Freeport, kalau diperhatikan keuntungan yang diperoleh Freeport jauh lebih banyak daripada penerimaan negara dari sektor minerba," ujar dia.

Wacana dan upaya pembentukan UU Migas baru telah mengemuka sejak ditetapkannya keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2012 bahwa ada 17 pasal dalam UU Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam amar putusannya, MK membubarkan BP Migas dan lembaga penggantinya akan ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang akan diatur dalam UU Migas baru.

Pewarta: Yashinta Difa Pramudyani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015