Surabaya (ANTARA News) - Tokoh Nahdlatul Ulama (NU) KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) sesalkan sikap Pimpinan Pondok Pesantren Daarut Tauhid, Bandung, KH Abdullah Gymnastiar (Aa` Gym), yang berpoligami. "Saya sangat menyesal, walaupun dia tidak melanggar hukum agama. Dia melanggar etika dan norma-norma di masyarakat," kata sesepuh Pesantren Tebuireng, Jombang, Jatim, itu melalui telepon kepada ANTARA Surabaya, Rabu. Menurut dia, hal yang tidak dipikirkan oleh Aa` Gym adalah, dirinya kini telah menjadi ulama publik figur yang mewakili kalangan modern, sehingga semua sikapnya pasti akan disoroti banyak orang. Salah seorang putera pendiri NU, KH Hasyim Asy`ari itu menyatakan mendukung gerakan antipoligami yang kini dilakukan berbagai elemen masyarakat, khususnya aktivis perempuan. "Upaya mempersulit poligami untuk menciptakan keadilan itu sudah sesuai dengan perintah agama. Upaya mempersulit poligami itu untuk menghindari kerugian semua pihak, khususnya kalangan perempuan," ujar paman dari Gus Dur itu. Mantan politisi yang pernah aktif di PPP itu kemudian mengungkapkan bahwa semua keluarganya atau saudaranya konsisten tidak melakukan poligami, antara lain, KH Wahid Hasyim (ayah Gus Dur), KH Abd Kholik Hasyim dan KH Abd Karim Hasyim. "Padahal keluarga kami itu berpeluang untuk melakukan poligami, tapi kami tidak melakukan itu karena takut tidak mampu memenuhi tuntutan agama yang intinya berbunyi, kalau kamu tidak bisa berbuat adil, maka cukup satu saja," katanya. Ia mengemukakan, untuk mempersulit poligami harus dilakukan dengan syarat yang ketat, antara lain melalui persetujuan isteri pertama, adanya keterangan dokter yang menerangkan isteri tidak bisa melayani suami atau tidak bisa memiliki keturunan dan lainnya. Namun demikian, ia juga meminta pemerintah menindak adanya realitas kawin kontrak yang dilakukan pejabat atau orang berduit dengan gadis-gadis kampung, termasuk yang paling parah harus dibasmi adalah kumpul kebo. Ditanya bagaimana dengan kenyataan banyaknya kiai NU yang melakukan poligami, Pak Ud mengemukakan, seharusnya hal itu tidak dilakukan oleh kiai-kiai muda yang nantinya akan menjadi pemimpin agama di era modern. "Kalau yang sudah, seperti Pak Hamzah Has (mantan Wapres RI), itu kan karena lingkungan masyarakatnya bisa menerima kenyataan itu. Meskipun demikian mereka tetap dibebani dengan kewajiban bersikap adil," ujarnya. (*)

Copyright © ANTARA 2006