Bogor (ANTARA News) - Cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat mendesak agar Amerika Serikat mengubah kebijakan luar negerinya di Timur Tengah yang justru melahirkan radikalisme di kalangan umat Islam sehingga mengganggu proses demokratisasi yang sedang berjalan. "Masalah Timur Tengah itu berkaitan dengan radikalisme dan ekstrimisme. Kedua hal tersebut akan mengganjal proses demokratisasi yang sedang kita kembangkan," kata Komaruddin Hidayat di Istana Bogor, Senin malam . Komaruddin adalah satu dari sembilan tokoh masyarakat yang diundang untuk berdiskusi dengan presiden AS George W Bush di antara pertemuan bilateralnya dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Bogor. Dikatakannya, umat Islam di Indonesia dalam proses menuju demokratisasi, dan itu sejalan dengan proses demokratisasi yang terjadi di Amerika Serikat. Namun, hal itu sekarang terganjal radikalisme dan ekstrimisme yang muncul akibat kebijakan AS di Timur Tengah. "Oleh karena itu kita harapkan bahwa mari umat Islam maupun umat agama lain di Indonesia bisa bekerja sama dengan AS mengembangkan demokrasi dan itu jangan dirusak. Berbagai radikalisme, menurut saya itu merusak proses ini," katanya. AS sebagai negara yang punya kekuatan, katanya diharapkan bisa melakukan penekanan untuk menghentikan radikalisme ini. Dikatakannya, meski komitmen AS untuk mendukung proses demokratisasi sangat besar tetapi prakteknya sulit untuk dicapai sehingga menimbulkan kekecewaan banyak ormas-ormas sosial keagamaan di Indonesia. Sementara mengenai kehadirannya dalam diskusi dengan Bush, Komaruddin mengatakan jangan terlalu berharap terhadap pembicaraan tersebut karena waktunya yang terlalu singkat. "Saya sekadar satu orang yang diundang dan tidak banyak berharap. Yang saya harapkan adalah kerjasama G to G dan kepedulian atas suara masyarakat," katanya. Sembilan tokoh yang mengikuti pertemuan itu adalah ekonom Muhammad Ikhsan, pakar fisika Johannes Surya, peneliti LIPI Adi Santoso, cendekiawan muslim Komaruddin Hidayat, Ketua Badan Reintegrasi NAD Yusny Saby, wakil ketua Majelis Rakyat Papua Frans Wospakrick, pakar BPPT Ridwan Djamaluddin, pakar pendidikan Arif Rachman dan pakar kesehatan Nila Farid Moeloek.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006